Bentuk carrot sebagai wujud apresiasi atau reward di Kompasiana di antaranya yaitu pemilihan/ pelabelan artikel utama/ headline dan pilihan/ highlight. Selain itu, Kompasianer berkesempatan mengikuti acara-acara tertentu yang cukup prestisius dan  juga  kompetisi dalam ajang lomba dengan proses penjurian tersendiri.
Inovasi reward itu kini semakin menarik; secara kuantitatif hingga bulan ini berlangsung pemberian K-reward berbasis angka keterbacaan atau pageviews yang bisa dirupiahkan.
Selain di Kompasiana metode tersebut juga sudah dilakukan Seword namun sepertinya belum terjadi di Pepnews. Format monetisasi ini menurut COO Kompasiana, Nurulloh, akan terus dikembangkan agar semakin kompetitif di masa yang akan datang.
Satu daya tarik tersendiri bagi Kompasianer soal K-reward ini.
Soal uang sebagai pengganti biaya kuota mungkin iya, tetapi ternyata ada sisi lain juga dari mekanisme  pengumuman perolehan K-reward yang berlangsung tiap bulan itu.
Jika kita membaca komentar-komentar yang muncul, terasa ada unsur kebanggaan dan ketegangan kompetisi yang melibatkan endorfin dan adrenalin; ketika nama-nama peraih diurutkan secara ranking dari yang tertinggi hingga yang terendah. Keseruan yang agaknya hanya dapat ditandingi oleh riuhnya penyusunan kabinet beberapa waktu lalu.
Seword memang punya juga format monetisasi serupa, tetapi siapa juara lima besar teratasnya agaknya  hanya diketahui di lingkungan internal saja. Tidak diumumkan secara terbuka seperti di Kompasiana.
Belakangan admin memberlakukan peraturan baru di mana penghitungan pageviews artikel hanya dilakukan pada artikel berlabel pilihan saja. Artikel headline memperoleh double reward.
Peraturan  tersebut tentu bermaksud memotivasi agar penulis tidak melupakan aspek kualitas demi mengejar kuantitas. Sesuatu yang sudah bukan persoalan bagi penulis mahir dan terverifikasi biru. Tetapi bagi para Kompasianer yang masih dalam proses perjuangan, baik dari segi mutu maupun perolehan angka minimal views (yang 3000 itu), aturan tersebut bisa jadi bumerang  yang dapat mematahkan semangat.
Soal tema sebagai magnet penarik, tidak dapat dimungkiri jika kanal politik merupakan pilihan favorit penulis untuk memperoleh banyak pembaca. Fenomena yang barangkali  terjadi secara alami karena hal serupa juga juga berlangsung di Pepnews dan apalagi di Seword. Maksudnya, memang topik politik itu yang saat ini sedang hangat digemari sehingga seolah-olah selalu mendominasi segmen tulisan terpopuler.
Hal ini bisa menjadi bahan analisa ilmiah, apakah benar ada kecenderungan netizen mencari tulisan opini politik pembanding media mainstream? Jika ada, seberapa besarkah persentasenya, dan seberapa kuat pengaruhnya?