Ibrahim (dilanjutkan para nabi keturunannya) menempuh jalan seperti  itu dan sudah selesai. Tuntas. Kita tidak mungkin mengulangi, mencari dari bentuk yang paling mentah; kalau tidak mau tersesat.
Karena sekarang agama  --seperangkat paket lengkap tata cara ber-Tuhan--  sudah ada, maka kita tinggal menikmati 'sajian' yang tersedia. Sesuai selera (baca: keyakinan) masing-masing.
Dalam jamuan makan kita hanya bisa 'promosi'.Â
"Gurami asam manis ini enak lho Mbak" atau "arsik ikan mas ini maknyuss lho Mas".
Tidak bisa kita mengancam "Bapak Ibu, hadirin semua, pecel lele yang saya makan ini adalah yang paling enak. Oleh karena itu Anda semua harus ikut makan yaa! Kalau tidak, saya pentung satu per satu!"
Ketika berada dalam satu wadah keyakinan, persoalan pencarian identitas tidak lantas selesai.
Muncul lagi tantangan baru untuk mempurifikasi.  Ada  proses dinamis  yang tidak pernah rehat.
Ia saya Islam, tapi Islam apa? Abangan, santri, atau bunglon?
Mazhab dan aliran juga banyak ragamnya. Ada Syafii, Maliki, Hambali, Hanafi. Komunitas atau gerakan pun macam-macam, bisa puluhan jumlahnya. Ada Wahabi, Aswaja (Ahlusunnah wal jamaah), Syi'ah. Sangat beragam.
Pantas dahulu Deddy Corbuzier sempat bingung. Kalau saya mau masuk Islam saya belajar sama siapa?
Tidak ada satu umat beragama yang sedari lahir hingga saat ini masih utuh seperti sejak awal terbentuk.