Descartes mengatakan satu pernyataan tentang eksistensi,  yang sangat terkenal hingga sekarang:  "cogito ergo sum". Aku berpikir maka aku ada. Kesadaran  atau pikiranlah  yang (paling) mungkin  dapat mewakili keberadaan  diri kita dalam semesta.
Persoalannya; pikiran, logika, atau  goresan di dalam hati  itu sendiri tidak pernah statis. Selalu berubah. Banyak ambigu, inkonsistensi,  atau kontradiksi, seperti yang dapat kita lihat bertebaran di sekeliling kita.
Peribahasa Jawa "esuk dhele sore tempe", menunjukkan ke-tidakkonsisten-an  yang dipandang  negatif sebagai sikap tidak punya pendirian atau berubah terlalu cepat.
Jika kita tarik garis lurus ke dalam kehidupan manusia  termasuk sosial politik, gejalanya ada. Berlimpah.
Tidak perlu heran adanya fenomena politisi balik kanan, kemarin oposisi sekarang berada di sisi. Sementara yang tadinya berada di sisi (karena gerah) malah sedang mencari jalan beroposisi.
Di dalam keyakinan beragama juga begitu, ada (dalam istilah Islam) fenomena hijrah; bahkan ada yang beralih keyakinan, mualaf atau murtad.
Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa manusia sejatinya tak pernah berhenti mencari untuk menemukan. Menemukan sesuatu yang entah, yang akan baru ia ketahui justru setelah mendapatkannya.
Pencarian itu  kadang gagal, karena tertipu tampilan, bias asumsi, atau ilusi.
Yang paling otentik  sebagai salah satu rujukan adalah pengembaraan spiritualitas Ibrahim. Petunjuk yang ia ikuti adalah benda-benda langit, yang dapat dilihat secara kasat mata .
Ibrahim mencari 'sesuatu' yang tidak mungkin ia temukan kecuali 'sesuatu' itu sendiri yang memperkenalkan diri-NYA. Â Tuhan.