Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tragedi Sulli dan Artikel Media yang Gagal Berempati

15 Oktober 2019   01:06 Diperbarui: 15 Oktober 2019   04:42 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polemik insiden penusukan Menkopolhukam Wiranto yang menimbulkan dampak ikutan masih hangat. Kini netizen kembali heboh dengan rilis artikel suatu media, liputan6.com. 

Masalahnya sama, kegagalan berempati atas musibah yang menimpa orang lain. Kita, sesama manusia.

Insiden yang menimpa Pak Wiranto berbuntut 8 anggota TNI terancam diproses kesatuannya karena status pasangan yang dianggap melanggar UU militer (medan.tribunnews.com, 14/10/2019).

Belum reda, muncul lagi kasus yang hulunya adalah soal kepantasan menyikapi musibah yang dialami orang lain.

Kematian Sulli, artis K-pop Korea, kemarin akibat bunuh diri cukup menggemparkan para fans-nya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. 

Alasan mengapa Sulli mengakhiri hidup sebaiknya kita pahami saja sebatas betapa berat tekanan hidup yang ia alami. Yang tidak terlihat dibalik gemerlap penampilan industri K-pop yang sedang hits.

Wajar juga media mengulas sisi-sisi kehidupan Sulli semasa hidup. Tentu sudut positif yang bermanfaat. Tetapi artikel tentang foto-foto sexy mendiang? Entah apa yang merasuki penulisnya sehingga tega mengangkat sisi itu.

Kontan saja netizen mengutuk penulis artikel berjudul "4 Potret Seksi ... Idola yang Tewas Bunuh Diri".  

Apa sudah habis ide sehingga nekat mengangkat konten kematian Sulli dari sisi profan yang begitu provokatif . Konten, bukan hanya sekadar judul. Media yang menaunginya pun sudah pasti ikut kena getahnya.

Masalahnya adalah artikel itu ditulis penulis profesional, dan media yang bersangkutan tentu ada editor. Mengapa bisa lolos artikel yang mengeksploitasi penderitaan manusia. 

Sulli sama seperti kita juga, walaupun bukan warga senegara. Demikian juga Wiranto, Ninoy, korban kerusuhan Mei lalu, korban di Wamena. Media harus mengambil sisi kemanusiaannya. Bukan eksploitasi.

Ternyata tidak hanya status, artikel pun bila gagal paham konteks pasti bermasalah.

Konteks berita kecelakaan atau kematian adalah dukacita. Artikel yang menyangkut seseorang yang meninggal semestinya berkaitan tentang kenangan bernuansa positif. Obituari.

Dari segi waktu atau kecepatan, setidaknya ada tiga tingkat proses otak menyaring sesuatu yang akan kita komunikasikan. Persoalan konteks adalah sesuatu yang krusial. Isi, cara, media, waktu, dan kepada siapa kita sedang berinteraksi adalah hal-hal yang secara otomatis harus kita proses serentak.

Pertama, berbicara. 

Prosesnya sangat cepat. Misal, ketika amarah berkecamuk di kepala, kebijaksanaan universal mengajarkan agar menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu. Bisa dengan cara menghela napas, duduk sebentar, atau mencuci muka. 

Di dalam Islam orang yang marah dianjurkan mengucap istighfar, atau berwudlu, membasuh muka. Mulutmu harimaumu, kata peribahasa.

Kedua, menulis status medsos. 

Dibanding  berbicara, menulis status di media sosial walaupun singkat memerlukan lebih banyak waktu untuk berpikir. Sebelum gadget ada, dulu ada yang namanya stenografi, teknik menulis cepat yang lazim dimiliki wartawan. Bermanfaat saat melakukan wawancara.

Ketika menulis atau mengetik sesuatu, memori di dalam otak perlu lebih banyak waktu sebelum disusun menjadi untaian status. Berbeda dengan ngomong langsung yang sifatnya spontan.

Ketiga, menulis artikel. 

Butuh waktu jauh lebih lama dibanding menulis status, apalagi berbicara. Setelah jadi pun ada jeda untuk menimbang apakah rilis atau tidak. Penulis artikel mesti membaca ulang, bahkan penulis mahir sekalipun.

Untuk media umum yang sifatnya profesional, keberadaan editor atau penanggung jawab rubrik adalah satu keniscayaan. Berfungsi untuk menimbang soal kepantasan konten yang akan disajikan kepada pembaca.

Soal meraih perhatian pembaca memang penting, penulisan judul adalah salah satu kuncinya. Media mainstream pun sayangnya kerap berbuat demikian, menulis judul lebay atau tidak sesuai fakta. Tetapi soal konten? Persoalannya jauh lebih serius dibanding sekadar masalah judul.***

Catatan:

Judul artikel yang penulis bahas adalah nyata. Hanya rasanya tidak tega penulis menghubungkan link-nya. Serasa ikut-ikutan mengeksploitasi seseorang yang sudah wafat.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun