Ternyata tidak hanya status, artikel pun bila gagal paham konteks pasti bermasalah.
Konteks berita kecelakaan atau kematian adalah dukacita. Artikel yang menyangkut seseorang yang meninggal semestinya berkaitan tentang kenangan bernuansa positif. Obituari.
Dari segi waktu atau kecepatan, setidaknya ada tiga tingkat proses otak menyaring sesuatu yang akan kita komunikasikan. Persoalan konteks adalah sesuatu yang krusial. Isi, cara, media, waktu, dan kepada siapa kita sedang berinteraksi adalah hal-hal yang secara otomatis harus kita proses serentak.
Pertama, berbicara.Â
Prosesnya sangat cepat. Misal, ketika amarah berkecamuk di kepala, kebijaksanaan universal mengajarkan agar menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu. Bisa dengan cara menghela napas, duduk sebentar, atau mencuci muka.Â
Di dalam Islam orang yang marah dianjurkan mengucap istighfar, atau berwudlu, membasuh muka. Mulutmu harimaumu, kata peribahasa.
Kedua, menulis status medsos.Â
Dibanding  berbicara, menulis status di media sosial walaupun singkat memerlukan lebih banyak waktu untuk berpikir. Sebelum gadget ada, dulu ada yang namanya stenografi, teknik menulis cepat yang lazim dimiliki wartawan. Bermanfaat saat melakukan wawancara.
Ketika menulis atau mengetik sesuatu, memori di dalam otak perlu lebih banyak waktu sebelum disusun menjadi untaian status. Berbeda dengan ngomong langsung yang sifatnya spontan.
Ketiga, menulis artikel.Â
Butuh waktu jauh lebih lama dibanding menulis status, apalagi berbicara. Setelah jadi pun ada jeda untuk menimbang apakah rilis atau tidak. Penulis artikel mesti membaca ulang, bahkan penulis mahir sekalipun.