Sebagai hewan pemangsa ayam, reputasi musang di kampung saya dahulu sudah dikenal sejak lama. Bahkan jika ada kasus kehilangan unggas peliharaan tersebut, musang selalu termasuk salah satu tersangka selain anjing atau kucing. Bisa juga pencuri yang manusia.
Meskipun merupakan hama yang populer, sangat jarang warga bertemu omnivora itu secara langsung dalam jarak dekat. Kecuali di gambar atau film, saya juga belum pernah melihat secara live aksi hewan yang juga disebut careuh atau luwak itu.
![Jendela kamar dengan view waktu malam. Bagian terang di sebelah kanan atas adalah langit Jakarta. Tepat di bawah jendela ada pagar tembok pembatas dan saluran air hujan yang menjadi jalan perlintasan musang di malam hari (dokumentasi pribadi).](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/08/06/window-5d4886540d823006ef047927.jpg?t=o&v=770)
Di kebun binatang musang juga sepertinya tidak masuk daftar peliharaan favorit karena bukan termasuk hewan yang dilindungi atau langka.
![Jejak musang, tampak beraneka biji-bijian berserakan di lantai tembok beton. Sebutir biji tampak telah berkecambah dengan media debu, kayu lapuk, dan cat tembok yang terkelupas (dokumentasi pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/08/06/jejak-2-5d4887230d823023e1305a5d.jpg?t=o&v=770)
Kehadiran si pemakan biji kopi ini ditandai dengan aroma pandan yang kuat sehingga hewan ini mendapat julukan tambahan yaitu musang pandan.
![Beberapa biji berhasil tumbuh, disemai dalam wadah kecil dengan media tanah. Saya belum tahu bibit pohon apakah ini? (dokumentasi pribadi).](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/08/06/wp-20190221-07-55-30-pro-4-5d48890a097f3673fe032042.jpg?t=o&v=770)
Untunglah cahaya bulan cukup membantu pengamatan hewan yang kadung dianggap suka menyamar jadi ayam ini. Dia berjalan cukup cepat, setengah berlari. Dari sekian kali kesempatan, tidak pernah sekalipun sempat saya abadikan dengan kamera gawai.
Sebagai hewan urban tampaknya dia sudah lebih toleran dengan kehadiran manusia meski masih tetap menjaga jarak aman.
Setelah rumah direnovasi, posisi jendela yang bersebelahan dengan jalan favorit si codet --saya kasih nama begitu-- kemudian berubah. Sayang sekali.
Tetapi rupanya perubahan posisi arsitektur rumah membuat satu tempat di pojok atas bagian belakang jadi agak terisolasi.Â
Ada spot di pinggir atap kemudian jadi ‘ruang makan malam’ si codet. Tempat mojok tersebut ditandai dengan sisa-sisa bebijian yang berserakan di teras di bawahnya. Kadang sisa jambu, rambutan, ada pula daun-daun dengan bekas keratan gigi tajam di tepinya, kadang tampak seperti habis dikunyah.
![Bibit pohon yang semakin membesar, bentuk daun semakin jelas. Di sebelah kiri tampak ada biji yang baru berkecambah (dokumentasi pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/08/06/wp-20190307-08-50-52-pro-5d4888f50d82305f0a79bea4.jpg?t=o&v=770)
Karena tertarik, sebagian biji kemudian dipindah ke tempat yang lebih representatif, wadah kecil berisi tanah agar bisa tumbuh lebih baik.Â
Setelah tumbuh hingga daunnya terbentuk sempurna saya masih belum tahu pohon apakah itu. Fotonya seperti yang saya lampirkan di atas dalam tulisan ini. Mungkin ada rekan kompasianer yang bisa memberi tahu namanya.
Demikianlah sedikit pengalaman tentang jejak musang pandan yang saya panggil si codet karena bentuk garis-garis di mukanya. Di alam nyata di hutan atau kebun setengah hutan, dia adalah hewan yang berjasa menyemai benih berbagai jenis tumbuhan.
Contohnya kolang-kaling yang biasa kita nikmati dalam sirup buah saat bulan puasa yang berasal dari pohon aren liar. Penyebaran pohon aren tidak terlepas dari jasa musang yang tak pernah meminta pamrih dari kita.
Jika mampu menyampaikan pesan, mungkin hanya ini yang ingin dia sampaikan: tolong beri kami sedikit ruang untuk hidup nyaman di antara kalian.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI