Media sosial saat ini sering menjadi media penyebaran berita dan sudut pandang politik kepada publik, entah benar atau salah atau hoaks.
Pada perhelatan Pemilu serentak 2019 ini terutama pilpres, masing-masing kubu pendukung beradu argumen untuk membela pilihannya. Sejauh pengamatan penulis pendukung Prabowo-Sandi relatif lebih agresif dalam usaha menguasai opini di grup media sosial.
Dari 2 grup whatsapp yang penulis ikuti misalnya (link keluarga dan pekerjaan) mereka tanpa rasa bersalah mencemari lini masa dengan postingan yang tendensius meskipun sudah ditegur atau diprotes anggota grup yang lain. Terakhir menjelang pembatasan medsos oleh pemerintah terkait aksi massa 22 Mei, sempat tersebar 4 video di grup.
Isi konten video tersebut yaitu: seruan siaga jihad, penampakkan korban kerusuhan yang terluka, penembakan di kompleks masjid (narasinya: "Masjid Al Makmur, Tanah Abang ditembaki polisi biadab!"), dan momen berlangsungnya aksi massa itu sendiri. Semua dengan narasi menurut sudut pandang pelaku aksi.
Semestinya kita mengapresiasi langkah antisipatif pemerintah untuk mencegah eskalasi kerusuhan di daerah lain.
Fakta hukum selama ini, kabar bohong yang menyesatkan dapat mendorong orang atau sekelompok orang untuk melakukan hal-hal yang  melanggar hukum atau norma. Para pelaku yang mendistribusikan kabar bohong dan kebencian selama ini juga bukanlah orang-orang bodoh. Mulai dari PNS, guru, pilot, dokter, penyiar radio, bahkan ustadz dan dosen perguruan tinggi.
Setelah tertangkap dan menjadi tersangka, skenario hafalan para pelaku rata-rata sama: menyesal, emosi sesaat, dan basa-basi minta maaf kepada publik. Semudah itu.
Akibat dari kerusuhan 21-22 Mei itu sendiri sangat merugikan kehidupan ribuan orang lain; mereka yang sedang mencari nafkah dan bahkan lebih parah lagi, korban jiwa dan terluka. Â
Rakyat kecil yang hidup mengandalkan pendapatan harian, kehidupannya semakin bertambah sulit. Apalagi saat ini umat Islam akan menghadapi lebaran dan pergantian tahun ajaran sekolah bagi yang punya anak. Mereka sedang berjibaku untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan  itu demi keluarga mereka.
Di luar beberapa spot di Jakarta, Pontianak dan Sampang ikut membara. Salah satu penyebab kerusuhan itu adalah kabar hoaks yang merembet dari Jakarta; salah satu efeknya, massa yang terhasut membakar Polsek Tambelangan di Sampang, Madura.
Suhu politik saat ini masih belum dingin, polarisasi masih kuat di beberapa daerah dan belum menunjukkan tanda-tanda akan mencair. Caleg-caleg yang kecewa menderita kerugian jutaan dan milyaran rupiah tidak mustahil ikut menunggangi kondisi sebagai bentuk pelampiasan.
Tanpa pembatasan medsos, kabar bohong, fitnah, dan kebencian akan menjalar dengan cepat ke daerah-daerah dan berpotensi memicu gesekan massa yang baru. Aparat keamanan, Polri-TNI yang jumlahnya terbatas, belum tentu juga dapat kuat lama menahan kesabaran menghadapi massa.Â
Pada peristiwa aksi kemarin, ternyata sebagian merupakan massa bayaran yang tidak berpikir nasib orang lain karena melakukan tindakan sesuai pemesan yang membayar mereka.
Menurut pemberitaan media, mereka para pelaku kerusuhan yang tertangkap itu ternyata mengkonsumsi minuman keras dan narkoba. Otak dan akal sehatnya sudah tidak berfungsi.
Jika aparat keamanan terprovokasi, dampaknya jatuh korban lebih banyak lagi; dan semakin banyak korban berjatuhan, hoaks-pun seperti akan menemukan pembenaran. Begitu terus lingkaran setan selanjutnya.
Lebih mengerikan jika kelompok tandingan atau massa pro-pemerintah ikut turun, konflik horizontal takkan terhindarkan.
Saat ini sudah jatuh cukup banyak korban harta benda masyarakat, yang terluka, dan korban jiwa.Â
Kita beri kesempatan kepada kepolisian untuk mengungkap siapa dalang kerusuhan sesungguhnya, para penyandang dana dan otak kerusuhan di belakang layar; bukan hanya pelaku lapangan atau cuma level middle-man saja. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H