Menikmati laga rematch Jokowi vs Prabowo semakin asyik ketika senapati-senapati  perang generasi kedua  sudah turun ke gelanggang.
Secara mengejutkan Puan Maharani menengok Ani Yudhoyono, istri SBY yang sedang sakit (detik.com, 21/3/2019). Sebelum itu, terjadi langkah politik yang cukup menyita perhatian, mendadak Erwin Aksa berbalik dukungan membela Prabowo-Sandiaga, (detik.com, 17 Maret 2019). Puan Maharani adalah anak perempuan Megawati, bos PDIP; sedangkan Erwin Aksa adalah keponakan Jusuf Kalla, wapres petahana sekaligus salah satu tokoh senior Golkar.
Langkah Erwin Aksa dan Puan Maharani bisa ditinjau dari beberapa sudut pandang. Dalam hal ini, aspek kemanusiaan dan keikhlasan dalam konteks ibadah sosial biarlah tetap menjadi kewenangan Tuhan.
Sudut pandang pertama menyangkut taktik politik jangka pendek, berkaitan dengan Pilpres 2019 yang tinggal menunggu hitungan hari.
Aksi Erwin Aksa 'balik kanan' memang magnitude-nya tidak sebesar gerakan 'bedol desa' tokoh-tokoh pro Prabowo ke kubu inkumben. Juga kalah efeknya  dengan keputusan 'politik rel ganda' Partai Demokrat yang menguntungkan Jokowi-Ma'ruf. Keputusan Erwin bersifat individu sedangkan keputusan Demokrat bersifat kolektif sehingga dampaknya pun sistemik. Walaupun demikian, sekecil apapun manuver di masa-masa kritis harus disikapi dengan segera dan berimbang agar elektabilitas paslon tetap dalam trend positif.
Saat ini hasil survei masih berpihak kepada kubu Jokowi-Ma'ruf dan berpeluang meningkat hingga hari H pencoblosan.
Ketika elektabilitas Jokowi berada di atas angin, keputusan Erwin Aksa  meninggalkan kapal bukanlah sesuatu yang boleh diabaikan. Kebocoran kecil jika dibiarkan dapat berubah jadi petaka. TKN Jokowi-Ma'ruf pun tanggap merespon langkah Erwin dengan  porsi yang sepadan, kunjungan Puan Maharani menengok istri tokoh sentral Partai Demokrat yang sedang dirawat, Ani Yudhoyono.
Secara simbolik, pemberitaan media atas kunjungan Puan akan bermakna positif bagi hubungan Partai Demokrat-PDIP, dan dalam skala yang lebih besar antara Partai Demokrat  dengan kubu Jokowi-Ma'ruf. Setelah Agus Yudhoyono, pemegang mandat Demokrat  saat ini, memfasilitasi kadernya  yang ingin mendukung petahana melalui platform 'politik rel ganda'; Puan Maharani menindaklanjuti dengan 'menjemput' mereka agar tidak sungkan-sungkan lagi mencoblos 01. Â
Efek  negatif manuver Erwin Aksa berhasil diredam dan dinetralisir dengan efektif oleh langkah Puan.
Kemudian dari sudut pandang politik jangka panjang, Pilpres 2019 jelas bukanlah event semacam momentum  "now or never". Bagi Prabowo mungkin iya, tetapi tidak bagi yang lain.
Partai-partai besar (baca: dinasti politik) harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan di masa depan agar ruang manuver tetap lega dan fleksibilitas juga terjaga. Regenerasi adalah keniscayaan karena umur partai (seharusnya) lebih panjang dari usia manusia.
Jika di pilpres saat ini kita berbicara Jokowi, Prabowo, SBY, JK, atau Megawati maka di Pilpres 2024 yang akan muncul lebih intens adalah tokoh-tokoh generasi kedua di partainya masing-masing; Puan Maharani, AHY, Erwin Aksa, dan tentu Sandiaga yang non-partai. Mereka juga tidak boleh tenggelam di antara kehadiran politisi-politisi baru seperti Tsamara Amany, Faldo Maldini, Grace Natalie dan yang lainnya. Pemberitaan media yang bernilai positif adalah investasi bagus dalam karier politik.
Bagi Golkar, Erwin Aksa boleh jadi membawa misi khusus 'menjajagi' Sandiaga  agar kelak bergabung dengan partai beringin atau bisa juga kepindahannya ke BPN adalah karena semata-mata adanya dinamika internal. Apapun itu yang jelas politik dua kaki Golkar kembali terjadi untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan sehingga Golkar (ikut) keluar sebagai pemenang, siapapun presiden yang terpilih nanti.
Bagi PDIP, peristiwa kunjungan Puan menengok Ani Yudhoyono selain berpengaruh baik bagi elektabilitas Jokowi-Ma'ruf juga bisa bermakna kecenderungan rekonsiliasi antara PDIP dengan Demokrat. Relasi kedua partai di masa depan yang diwakili Puan dan AHY tidak boleh terganggu oleh hubungan kurang harmonis antara Megawati dengan SBY saat ini.
Demikianlah politik, terlihat menarik jika kepentingan dipelihara dengan cara-cara yang elegan, bukan dengan praktek menghalalkan segala cara.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H