Operasi Tangkap Tangan KPK terbaru  berhasil mengamankan Ir. H. M. Romahurmuziy, M. T., Ketua Umum PPP.
Romy, panggilan Romahurmuziy, ditangkap bersama dengan 5 orang lainnya di Kanwil Kemenag Sidoarjo pada pukul 09.00, Jum’at 15 Maret 2019. Lima orang yang ditangkap lainnya berasal dari unsur swasta dan pejabat Kemenag.
Kasus kedua di PPP dan kelima di kalangan ketum parpol tersebut memperkuat hipotesa KPK tentang irisan antara korupsi dengan partai politik.
"KPK menginisiasi pembahasan mengenai pendanaan parpol ini disebabkan adanya irisan yang jelas antara tindak pidana korupsi dengan partai politik selama ini. Selain itu kerugian keuangan negara akibat korupsi (politik) sangat signifikan dampaknya. Ini diduga karena mahalnya biaya politik dalam rangka pendanaan partai dan biaya kontestasi," kata Saut Situmorang, komisioner KPK (kompas.com).
Berikut ini adalah ringkasan kasus yang menjerat 5 ketum parpol yang ditangani oleh KPK.
Romahurmuziy, "As I told You at that night!"
Operasi Tangkap Tangan KPKÂ terkini mengamankan Ir. H. M. Romahurmuziy, M. T., bersama dengan 5 orang lainnya di Kanwil Kemenag Sidoarjo pada pukul 09.00, Jum'at 15 Maret 2019. Lima orang yang ditangkap bersama Romy berasal dari unsur swasta dan pejabat Kemenag.
Kasus yang menjerat anggota DPR ini berkaitan dengan pengisian jabatan di Kemenag pusat dan daerah. Intinya jual beli jabatan. Â
Walaupun hukum di Indonesia menganut azas praduga tak bersalah, rasanya sulit bagi politisi muda ini untuk meloloskan diri. Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, dugaan terjadinya transaksi haram pengisian jabatan telah dilakukan berkali-kali.
Menyimak kalimat  Mahfud MD kepada Romy, "As I told you at that night, in Hotel Dharmawangsa: everything is matter of time!", merujuk peringatan kepada yang bersangkutan pada 14 Agustus 2018; dapat diambil kesimpulan sementara bahwa transaksi haram memang telah terjadi berkali-kali.
Entah mengapa Romy tidak mengambil pelajaran dari pengalaman seniornya di PPP, Suryadarma Ali yang kini masih menghuni LP Sukamiskin.
Setya Novanto dan drama tiang listrik
Ketua Umum Partai Golkar juga sebagai Ketua DPR adalah jabatan yang pernah disandang  Drs. Setya Novanto, Ak..
Kasus yang melilit politisi kelahiran Bandung ini adalah korupsi dalam  proyek  e-KTP yang bernilai  Rp 5,9 triliun. Akibatnya, 17 Juli 2017 KPK menetapkan Setnov sebagai tersangka.
Sebelum dan sesudah menerima keputusan hukum tetap atas kasusnya, Setnov kerap menarik perhatian warga karena drama yang dilakukannya.
Di Sukamiskin Setnov ditengarai terlibat  jual beli fasilitas penjara. Hal ini kemudian menimbulkan polemik berkepanjangan mengenai diskriminasi atas kesetaraan perlakuan yang diperoleh narapidana.
Sebelum ditangkap dan diadili, Setnov juga berkali-kali mangkir dengan beragam alasan.
Usahanya mengelabui aparat dengan merekayasa kecelakaan palsu yaitu menabrak tiang lampu berakhir dengan benjolan sebesar bakpao di jidat Setnov.
Sebelum kasus e-KTP, Setnov selalu berhasil lolos dari aneka kasus yang diduga melibatkannya.
Kasus Bank Bali, dana PON XVII, hingga kasus Akil Mochtar; adalah deretan perkara yang gagal menundukkan Setnov sebelum akhirnya terjegal e-KTP.
Suryadarma Ali dan kiswah yang bermasalah
Drs. H. Suryadharma Ali, M.Si., adalah Ketua Umum PPP periode 2007-2014.Â
Sejatinya prestasi politisi kelahiran Jakarta ini cukup cemerlang, pernah menyandang dua jabatan menteri era Kabinet Indonesia Bersatu di bawah SBY. Periode 2004-2009 Suryadharma Ali menjadi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Indonesia, berlanjut periode 2009-2014 menjadi Menteri Agama.
Penetapan tersangka oleh KPK pada 23 Mei 2014 kemudian memaksa Suryadharma Ali mundur dari jabatannya tanggal 26 Mei 2014.Â
Selain itu Suryadharma juga menerima gratifikasi berupa kain penutup Kakbah atau kiswah sebagai imbalan diloloskannya sewa pemondokan  jemaah haji yang diajukan pengusaha Saudi, Cholid Abdul Latief. Sebelumnya pemondokan tersebut ditolak karena dianggap tidak layak.
Suryadharma Ali akhirnya menerima vonis 10 tahun penjara pada 2 Juni 2016 setelah  bandingnya ditolak Pengadilan Tingggi  DKI. Hukuman ini jauh lebih berat dari tuntutan sebelumnya yaitu 'cuma' 6 tahun saja.
Karier Anas Urbaningrum terhenti di Hambalang
Karier politik Anas Urbaningrum sangat menjanjikan pada masanya dahulu. Mengalahkan Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie, Anas berhasil meraih posisi Ketua Umum Partai Demokrat  dalam Kongres di Bandung tahun 2010.
Sayangnya, politisi muda yang pernah diprediksi menjadi kandidat presiden masa depan ini harus menerima kenyataan pahit.Â
Tanggal 2 Mei  2013, KPK menetapkan Anas sebagai tersangka kasus Sport Center Hambalang, proyek pembangunan sarana olahraga yang fenomenal warisan rezim  SBY.
Anas Urbaningrum kini menghuni salah satu kamar di LP Sukamiskin dan terus berjuang untuk membuktikan bahwa vonis yang diterima dirinya adalah keliru.
Luthfi Hasan Ishaaq dan suap impor daging sapi
Ketua Umum PKS periode 2010-2015, Luthfi Hasan Ishaaq, terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai petinggi partai setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, 31 Januari 2013.
Kariernya di DPR lumayan panjang, periode 2004-2009 kemudian berlanjut 2009-2014. Di DPR, LHI, demikian inisial namanya, berada di komisi yang mengurus masalah pertahanan dan keamanan.
Peran mantan Presiden PKS dalam kasus tersebut adalah menggunakan pengaruhnya di Kementerian Pertanian untuk menggolkan izin impor daging sapi oleh PT Indoguna. LHI dijanjikan uang Rp 40 miliar, sementara uang yang disita KPK sebesar Rp 1 miliar.
Hukuman yang diterima LHI adalah yang paling berat di antara vonis empat ketum parpol lain. LHI memperoleh tambahan hukuman menjadi 18 tahun penjara setelah kasasinya ditolak MAÂ 15 September 2014, juga di tangan Artidjo Alkostar dan rekan.
Sebelum MA menolak kasasi, hukuman LHIÂ tetap saja masih cukup berat yaitu selama 16 tahun penjara.
Evaluasi pendanaan parpol
Berkaca dari kasus-kasus di atas, termasuk juga kasus kepala daerah dan kader parpol di DPR/ DPRD yang tertangkap KPK, semestinya membuat kita berpikir ulang tentang bagaimana sistem pembiayaan operasional parpol dan kader-kadernya.
Sistem atau mekanisme politik biaya tinggi yang diduga menyebabkan massifnya korupsi di Indonesia harus diubah. Sistem politik kita seharusnya lebih efisien secara ekonomi tetapi efektif menyaring kandidat yang berkualitas dan berintegritas.
Transparansi pendanaan internal adalah kunci untuk mengawasi bagaimana tata kelola keuangan parpol. Namun mekanisme ke arah itu tidak mudah karena butuh regulasi sebagai payung hukum untuk mengatur pelaksanaannya. Sementara di sisi lain, pembentukan regulasi dilakukan oleh orang-orang parpol itu sendiri di lembaga legislatif. Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H