Setelah memilih Kyai Haji Ma'ruf Amin dan "hadiah" SP3 bagi Rizieq Shihab atas kasus chatting-nya yang fenomenal, ternyata rezim petahana tak juga mampu mengambil hati kelompok ulama gerakan 212.
Ma'ruf Amin adalah Ketua MUI yang fatwanya dahulu dibela-bela hingga menimbulkan gelombang demo nasional berjilid-jilid. Sedangkan kasus chatting Rizieq Shihab yang dianggap sebagai kasus paling memalukan, toh akhirnya diputihkan setelah penyidik kepolisisan di bawah Jenderal Tito Karnavian menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.
Surat yang sama juga diberikan kepada Firza Husein, aktivis Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana yang ditangkap karena kasus dugaan makar. Tommy Soeharto sendiri membantah jika nama Cendana dikait-kaitkan dengan dugaan gerakan makar yang dilakukan Firza dan kawan-kawan.
Meski Prabowo tidak mematuhi rekomendasi Ijtimak Ulama I untuk memilih cawapres dari kalangan ulama, tetap saja mereka bergeming. Jelas hal ini tidak masuk akal sehat karena ini berarti Prabowo mengingkari arahan Rizieq Shihab dari Saudi.
Dalam Ijtimak Ulama II yang diselenggarakan hari ini oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama, GNPF-U, kembali Prabowo dielu-elukan sebagai kandidat capres pilihan.
Ijtimak berbalut penandatanganan "pakta integritas" oleh Prabowo dan Sandiaga Uno itu menegaskan bahwa GNPF-U dan atau gerakan 212 resmi kembali berada di jalur oposisi.
Semangat asal bukan Jokowi sangat vulgar terlihat.
Kehadiran Ma'ruf Amin sebagai pendamping Jokowi ternyata tidak menghasilkan efek apa-apa bagi GNPF-U. Pernyataan Yusuf Martak yang mengatakan bahwa ulama tidak seharusnya menjadi cawapres semakin menunjukkan inkonsistensi logika GNPF-U.
Bagi Prabowo sendiri, tak ada kesulitan yang berarti untuk membubuhkan tanda tangan di atas kertas berjuluk pakta integritas itu. Masalah pelaksanaan adalah soal lain yang berbeda.