Walaupun corak konstituennya mungkin berbeda, tetapi sejatinya PDIP dan Gerindra adalah partai nasionalis.
Ketika kubu Gerindra akrab dengan kelompok 212 bukan berarti partai itu telah menjadi lebih Islami. Sama sekali tidak. Prabowo termasuk sosok yang pandai bikin ge er --gede rasa-- orang. Korbannya sudah banyak, dari La Nyala Mattalitti, Rizieq Shihab, hingga AHY.
Demi meraih simpati, Prabowo khusyuk ketika hadir dalam ijtima ulama untuk menyimak  arahan  Rizieq dari Saudi. Tetapi nyatanya tak satu pun rekomendasi ijtima dipatuhi Prabowo. Baik Ustadz Abdul Somad maupun Salim Segaf Al Juffri dari PKS, alternatif cawapres yang disarankan Habib, semuanya urung  mendampingi Prabowo.
Demikian juga dengan Agus Harimurti penerus trah Cikeas, gagal memeluk kado cawapres yang sedianya akan menjadi hadiah penting pada pesta ulang tahunnya yang ke 40.
Prabowo akhirnya mengusung kader Gerindra sendiri untuk maju dalam perhelatan Pilpres 2019 nanti.Â
Agar citra nasionalis  kembali muncul menarik simpati konstituen, Gerindra memilih mengambil Sandiaga Uno sebagai wakil Prabowo. Jika sosok capres  dengan brand "The New Prabowo" nekad mengambil cawapres dari kubu Islam garis keras maka tidak  mustahil mereka akan ditinggalkan pemilih potensial yang moderat.
Begitu banyak persamaan PDIP dengan Gerindra sehingga terasa berlebihan jika kompetisi politik dalam pemilu harus menyerempet kepentingan bangsa yang jauh lebih besar.
Pelukan Jokowi-Prabowo di TMII telah memupus (sementara?) perseteruan dalam drama politik akhir-akhir ini. Keutuhan NKRI harus dijunjung tinggi diatas kepentingan sesaat dalam pesta demokrasi lima tahunan nanti. Manuver elit memang kadang suka bikin kaget, tapi bikin bodoh jangan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H