David Beckham, ..sungguh-sungguh unbelievable.
Ketika Najwa Shihab bertanya bagaimana cara membangun prestasi sepakbola Indonesia, Beckham tidak bilang merekrut pelatih terbaik, atau membuat klub elit.  Tanpa ragu ia mengatakan bahwa dasar untuk  membangun prestasi sepakbola ada pada satu hal:  sistem akademik, dengan kata lain sistem pendidikan.
Legenda sepakbola Inggris itu membandingkan dengan pengalaman dirinya tumbuh besar di negara yang percaya pada sistem. Inggris memiliki infrastruktur, sistem akademik yang memberi kesempatan pada anak-anak untuk mewujudkan apa pun mimpi-mimpi mereka, sesuatu yang tidak dimiliki oleh banyak negara lain.
Jika kita tarik garis sejajar, apa yang dikatakan Beckham dapat diterapkan pula dalam aspek pengembangan minat dan bakat anak-anak  yang lain, tidak hanya olahraga.Â
Potensi anak Indonesia di bidang sains, teknologi, seni, sosial ekonomi, dan budaya semuanya harus bertumpu pada sistem pendidikan yang fair. Mengantarkan talenta-talenta terbaik yang kita miliki, dari belia hingga meraih level profesional.
Sistem zonasi PPDB, agar setara
Berbicara tentang pendidikan di Indonesia, menarik sekali apa yang disampaikan oleh pembicara dalam Kompasiana Perspektif di Kemdikbud tanggal 6 Agustus lalu, Dr. Ir. Ari Santoso, DEA. Beliau menggantikan Mendikbud, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, MAP; menjadi narasumber acara bertema: "Optimisme menguatkan pendidikan dan memajukan kebudayaan Indonesia".
Kebijakan zonasi atau zoning system yang diterapkan pemerintah berawal dari penyelenggaraan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 26 Januari 2017 di Jakarta. Ada tiga isu penting yang dirembuk yaitu:
- peningkatan pemerataan layanan pendidikan,
- peningkatan mutu relevansi dan daya saing,
- penguatan tata kelola pendidikan dan kebudayaan.
Tujuan utama sistem zonasi dalam PPDB adalah untuk menyetarakan kualitas layanan pendidikan sekolah negeri sehingga dikotomi sekolah favorit dan non-favorit perlahan-lahan hilang.
Dengan sistem ini maka secara kualitas atau kemampuan, siswa jadi relatif tersebar di beberapa sekolah. Siswa pandai tidak terkonsentrasi di sekolah tertentu yang dianggap unggul, sementara siswa yang biasa-biasa saja pun tidak ter-stigma mendapat kursi di sekolah-sekolah "buangan".
Karena input siswa yang heterogen itu pula maka pihak sekolah pun, terutama guru, ikut dituntut untuk meningkatkan kualitas.
Guru yang terbiasa santai mengajar siswa yang cerdas, Â dituntut kreatif mengajar siswa yang kurang. Di sisi lain, guru yang terbiasa mengajar siswa yang kurang akan dipaksa untuk "belajar" lagi, agar mampu mengimbangi siswa-siswa cerdas yang kritis. Dalam hal ini peranan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru amat penting agar kualitas tenaga pengajar memenuhi standar minimal.
Sementara dari segi kuantitas, pembagian sekolah menurut zona wilayah tersebut diharapkan dapat mencegah penyebaran jumlah siswa yang tidak merata, karena  ada sekolah yang siswanya membludak sementara yang lain kekurangan.
Ada pun manfaat bagi siswa, penerapan zonasi ini bertujuan untuk menghindari perjalanan ke sekolah yang terlalu jauh, karena siswa akan belajar di sekolah yang terdekat dengan domisilinya.
Contoh kasus, menurut pengamatan penulis, ada keluarga yang begitu "fanatik" untuk menyekolahkan anak-anaknya di Jakarta, pokoknya harus di Jakarta! Akibatnya, siswa menghabiskan banyak waktu di perjalanan untuk pulang pergi ke sekolah karena rumahnya di Tangerang Selatan atau Bekasi.
Tentunya hal itu juga berefek menambah kemacetan.
Kecurangan menghancurkan dunia pendidikan
Setiap perubahan menuntut penyesuaian, begitu juga dengan implementasi kebijakan sistem zonasi PPDB.
Ada dua kelompok  masalah yang dihadapi: pertama, masalah bawaan atau kondisi khusus; kedua, masalah kecurangan atau fraud yang dilakukan pejabat publik, pihak sekolah, atau orang tua siswa.
Masalah yang pertama misalnya, di beberapa kota besar terdapat beberapa sekolah yang berada dalam satu lokasi sedangkan jumlah penduduk di sekitar tempat tersebut hanya sedikit. Hal seperti ini perlu pengecualian.
Hal ini terjadi karena kewenangan Kemdikbud terbatas sejak penerapan otonomi daerah yang menyebabkan sekolah-sekolah negeri dikelola oleh pemerintah daerah. Kondisi ini praktis memotong jalur pengawasan pusat dan memicu tumbuhnya "raja-raja kecil" di daerah.
Efek samping dari desentralisasi pengelolaan lembaga pendidikan negeri antara lain dalam hal pengawasan anggaran keuangan dan manajemen alokasi tenaga pengajar.
Sebagai contoh, logika penerapan sistem zonasi mengharuskan pula adanya mutasi tenaga pengajar agar terjadi pemerataan di guru sekolah-sekolah. Dalam iklim birokrat yang nepotis, hal itu sulit terwujud dan Kemdikbud tidak bisa berbuat banyak.
Guru yang sudah pewe --posisi wuenak-- di satu sekolah pasti enggan dimutasi, apalagi kalau lokasinya jauh dan yang bersangkutan adalah guru senior. Dalam kasus lain, guru yang berkualitas di daerah pinggiran justru ditarik ke kota yang notabene pengajarnya sudah melimpah. Inilah tantangan yang dihadapi Kemdikbud.
Selain masalah alokasi guru, pihak sekolah (oknum) tertentu ditengarai juga melakukan kecurangan dengan adanya praktik jual beli kursi dalam penerimaan siswa baru. Terbatasnya fungsi pengawasan Kemdikbud dan sulitnya menemukan bukti-bukti menjadi kendala dalam pemberantasan masalah ini.
Dari pihak orang tua siswa kecurangan juga bisa terjadi. Hal ini terjadi setelah muncul aturan baru, Permen No. 14 Tahun 2018. Kasus yang marak di media beberapa waktu lalu adalah penerbitan Surat Keterangan Tidak Mampu  (SKTM) bodong yang digunakan agar bisa diterima di sekolah favorit. Selain SKTM, kasus surat keterangan domisili siswa juga ternyata ada yang "aspal", karena mengakali aturan jarak dalam radius tertentu agar mendapat prioritas masuk sekolah yang diinginkan.
Ari menjelaskan bahwa kecurangan dalam proses penerimaan siswa baru bisa dilaporkan ke Inspektorat Jenderal Kemdikbud yang berwenang untuk melakukan penindakan. Laporan pengaduan serta bukti-bukti penguat juga bisa dikirim melalui alamat: ult.kemdikbud.go.id.
Penerbitan SKTM palsu misalnya, menurut Ari Santoso hal itu bisa dipidana jika terbukti karena terkait dengan penyalahgunaan wewenang pejabat publik yang menerbitkannya. Sebagian Kompasianer sepakat tindakan tegas seperti pernyataan Ari, meskipun ada juga peserta yang tidak setuju karena kecurangan itu terhitung ringan.
Menurut pendapat penulis sendiri, kecurangan-kecurangan di atas memang ringan tetapi dengan analogi berikut ini.
Ada satu truk gula pasir entah punya siapa, ditaruh di tengah kampung. Karena habis gula di rumah, saya ambillah diam-diam sesendok untuk bikin kopi. "Ah, cuma sedikit, gak akan kelihatan kurangnya".
Rupanya orang pun berpikir demikian pula, dan.. sesendok demi sesendok akhirnya habislah gula satu truk!
Jika kita tidak serius memberantas pelanggaran-pelanggaran di atas maka dunia pendidikan kita akan semakin rusak dan tidak berkualitas. Jadi, bagaimanapun juga teguran diperlukan, tetapi jika sudah terlalu jauh: Â pidana!
*) Wawancara David Beckham dengan Najwa Shihab
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H