Hal ini terjadi karena kewenangan Kemdikbud terbatas sejak penerapan otonomi daerah yang menyebabkan sekolah-sekolah negeri dikelola oleh pemerintah daerah. Kondisi ini praktis memotong jalur pengawasan pusat dan memicu tumbuhnya "raja-raja kecil" di daerah.
Efek samping dari desentralisasi pengelolaan lembaga pendidikan negeri antara lain dalam hal pengawasan anggaran keuangan dan manajemen alokasi tenaga pengajar.
Sebagai contoh, logika penerapan sistem zonasi mengharuskan pula adanya mutasi tenaga pengajar agar terjadi pemerataan di guru sekolah-sekolah. Dalam iklim birokrat yang nepotis, hal itu sulit terwujud dan Kemdikbud tidak bisa berbuat banyak.
Guru yang sudah pewe --posisi wuenak-- di satu sekolah pasti enggan dimutasi, apalagi kalau lokasinya jauh dan yang bersangkutan adalah guru senior. Dalam kasus lain, guru yang berkualitas di daerah pinggiran justru ditarik ke kota yang notabene pengajarnya sudah melimpah. Inilah tantangan yang dihadapi Kemdikbud.
Selain masalah alokasi guru, pihak sekolah (oknum) tertentu ditengarai juga melakukan kecurangan dengan adanya praktik jual beli kursi dalam penerimaan siswa baru. Terbatasnya fungsi pengawasan Kemdikbud dan sulitnya menemukan bukti-bukti menjadi kendala dalam pemberantasan masalah ini.
Dari pihak orang tua siswa kecurangan juga bisa terjadi. Hal ini terjadi setelah muncul aturan baru, Permen No. 14 Tahun 2018. Kasus yang marak di media beberapa waktu lalu adalah penerbitan Surat Keterangan Tidak Mampu  (SKTM) bodong yang digunakan agar bisa diterima di sekolah favorit. Selain SKTM, kasus surat keterangan domisili siswa juga ternyata ada yang "aspal", karena mengakali aturan jarak dalam radius tertentu agar mendapat prioritas masuk sekolah yang diinginkan.
Ari menjelaskan bahwa kecurangan dalam proses penerimaan siswa baru bisa dilaporkan ke Inspektorat Jenderal Kemdikbud yang berwenang untuk melakukan penindakan. Laporan pengaduan serta bukti-bukti penguat juga bisa dikirim melalui alamat: ult.kemdikbud.go.id.
Penerbitan SKTM palsu misalnya, menurut Ari Santoso hal itu bisa dipidana jika terbukti karena terkait dengan penyalahgunaan wewenang pejabat publik yang menerbitkannya. Sebagian Kompasianer sepakat tindakan tegas seperti pernyataan Ari, meskipun ada juga peserta yang tidak setuju karena kecurangan itu terhitung ringan.
Menurut pendapat penulis sendiri, kecurangan-kecurangan di atas memang ringan tetapi dengan analogi berikut ini.
Ada satu truk gula pasir entah punya siapa, ditaruh di tengah kampung. Karena habis gula di rumah, saya ambillah diam-diam sesendok untuk bikin kopi. "Ah, cuma sedikit, gak akan kelihatan kurangnya".
Rupanya orang pun berpikir demikian pula, dan.. sesendok demi sesendok akhirnya habislah gula satu truk!