Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bung Hatta, Proklamator yang Menyampaikan Khutbah Idul Fitri

30 Agustus 2011   10:53 Diperbarui: 25 Juli 2018   05:18 1432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua tahun setelah proklamasi, 1947, kondisi Bangsa Indonesia masih kritis.  Akan tetapi daya hidup bangsa yang baru tumbuh ini tidak lunglai dan rapuh. Jiwa kepemimpinan dari sosok-sosok  negarawan berperan penting agar api kemerdekaan yang baru disulut kian menggelora. Salah satu teladan dari jiwa kepemimpinan itu telah ditunjukkan oleh Mohammad Hatta pada saat menyampaikan Khutbah Idul Fitri  di Bukittinggi tanggal 18 Agustus 1947. 

Bung Hatta sebagai wakil presiden berada di Sumatera dalam waktu yang cukup lama,  sejak awal Juni 1947 hingga 5 Februari 1948. Walaupun tengkuk Republik ada di bawah todongan bedil Belanda, Bung Hatta tidak menunda keberangkatan ke Sumatera mengingat betapa penting agenda itu.  Misi utama kunjungan beliau ke Sumatera yaitu:

  1. meredam potensi perpecahan internal bangsa yang mulai timbul di Sumatera, termasuk kampung halaman beliau di Bukittinggi, dengan cara bertemu tokoh-tokoh perjuangan dan rakyat untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia.
  2. mengantisipasi kemungkinan terburuk jika Belanda terus menerus menekan dan memblokade Pemerintah Republik Indonesia di Jawa, dengan menjadikan Sumatera sebagai pilihan basis perlawanan  selanjutnya.

Khutbah Hatta yang Humanis dan Inklusif 

Walaupun latar belakang historis menunjukkan kegentingan masa kekacauan dan peperangan, khutbah Bung Hatta bukanlah pidato seorang sosok panglima perang. Pilihan kata dan kalimatnya tidak meledak-ledak, tetap jernih, sabar dan rasional. 

Memang demikian harapan Hatta terhadap kondisi sosial politik masyarakat Sumatera. Khutbah Idul Fitri Bung Hatta sangatlah humanis dan inklusif. Senantiasa yang disampaikannya adalah universalitas persaudaraan, perdamaian, demokrasi, dan keadilan sosial sebagai dasar untuk melestarikan nilai-nilai kemanusiaan. 

Beliau menarik  wawasan kaum muslimin Bukittinggi ke horison perjuangan bersama umat beragama di Indonesia, menarik perjuangan rakyat Indonesia ke cakrawala perjuangan umat manusia di dunia. Teks Khutbah Idul Fitri di Bukittinggi didokumentasikan dalam buku Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato III, 1985. 

Menurut buku yang disusun oleh putri sulung (Farida Meutia Hatta) dan ex sekretaris pribadi beliau (I.  Wangsa Widjaja) tersebut, pada hari yang sama Bung Hatta juga menyampaikan Pidato peringatan dua tahun Kemerdekaan RI di kota yang sama. Informasi otentik ini cukup berharga untuk memperkirakan pada tanggal berapa, menurut kalender Hijriah, jatuhnya Hari Kemerdekaan kita. Berikut ini pokok-pokok pikiran dalam khutbah beliau. 

1.  Kewajiban sosial umat Islam 

Bung Hatta mengingatkan  esensi ibadah yang dilakukan kaum muslimin. Beliau mengingatkan bahwa puasa adalah latihan untuk menahan diri dari perbuatan tercela dan pembuka hati untuk melaksanakan kewajiban sosial. Kewajiban sosial tersebut dikaitkan pula dengan ibadah-ibadah yang lain yaitu zakat yang disebutnya sebagai 'pajak sosial' untuk berempati kepada yang kurang beruntung. Bermaaf-maafan di hari raya menjadi momentum pembebasan  dendam dan kesalahan antara sesama di masa lalu. 

Salat 17 rakaat setiap hari juga memiliki makna pembersihan hati dan perbuatan umat Islam dari kejahatan yang merugikan masyarakat. Wudhu yang dikerjakan sebelum salat bermakna pembersihan mulut, panca indra dan anggota tubuh dari amarah dan niat-niat berbuat jahat. Sedangkan salam yang mengakhiri ibadah salat diterangkan beliau bahwa maksudnya adalah umat Islam harus menghadirkan damai ke seluruh alam. 

Perdamaian harus menjadi dasar hidup dan sebagai syarat untuk mencapai kesejahteraan. Hatta meringkas dengan sindiran bahwa tidak seharusnya ibadah-ibadah itu hanya jadi kebiasaan saja sedangkan intisarinya sebagai latihan jasmani dan rohani ditinggalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun