[caption id="attachment_84419" align="aligncenter" width="223" caption="B.J. Habibie sebagai Menristek yang sangat populer di era Suharto (http://djaka1.files.wordpress.com)"][/caption] Pada masa Presiden Suharto berkuasa, popularitas menteri-menteri cukup tinggi di kalangan masyarakat. Pada masa itu, tanpa harus googling, departemen apa, urusan apa, dipimpin oleh siapa, cukup dikenal baik hingga anak-anak sekolah dasar. Bahkan Menristek B.J Habibie pada waktu itu, memiliki tidak hanya popularitas tetapi juga penggemar yang tidak kalah banyak dengan penggemar artis. Citra cerdas dan teknokratnya Habibie menyatu dengan gerak-gerik serta tajam sorot mata, begitu seperti yang sering terlihat oleh rakyat di koran atau di televisi. Kini, menteri kabinet lebih dikenal (hanya) oleh publik apabila ketiban kasus atau gosip. Tifatul Sembiring lebih sering disorot karena kontroversinya di twitter, dan sekarang Menteri Kesehatan yang muncul ke permukaan gara-gara penyakit paru-paru yang diidapnya. Sekedar Anda tahu, saya sampai harus bertanya ke mBah Gugel untuk mencari tahu siapa menteri riset saat ini. Di luar itu, apa yang dikerjakan menteri-menteri itu, apa program-programnya, kita harus mencari tahu sendiri. Barangkali karena konstruksi media massa pada era Suharto berjalan efektif dan berperan sebagai corong pemerintah. Semenjak reformasi, lembaga-lembaga pemerintah tidak mendapat tempat (tidak dianakemaskan) dalam pemberitaan. Kegiatan-kegiatannya mungkin tidak memiliki nilai jual untuk menaikkan rating atau jumlah pembaca. Berita buruklah yang akan memikat wartawan untuk menguliti dan mengungkap keberadaan mereka ke horison penglihatan rakyat. Tanpa itu, mereka akan tenggelam di belakang meja kerjanya masing-masing. Berbanding terbalik dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi pusat perhatian media. Pernyataan, tindak-tanduk, bahkan pakaian batik, hingga gadget di tangannya memperoleh liputan dan pembahasan khusus. Lingkungan seperti ini yang membuat SBY sangat memperhitungkan citra. Berdasarkan rekam jejak selama ini di media, SBY tampak sangat ingin menonjolkan citra yang cerdas, melek teknologi, elegan/modis, seniman, dan, tentu saja dominan. Keinginan itu kelihatannya terlampau berhasil sehingga mengundang cibiran banyak kalangan, terutama ketika SBY secara atraktif menjadi "bintang iklan" sebuah gadget populer. SBY juga kerap membuat gebrakan yang sayangnya banyak terpeleset karena kurang matang dalam pertimbangan. Kita tentu masih ingat kasus dulu yaitu rilis varietas Padi Super Toy, bahan bakar dari air (!), dan pada periode sekarang seperti program pembelian sapi korban letusan Merapi serta handphone buat TKI. Gebrakan-gebrakan yang jelas pragmatis itu seperti seolah-olah muncul dari sensitivitas emosi ketimbang pemikiran yang matang. Celakanya, posisi SBY yang selalu berada di pusat perhatian, membuat semuanya menjadi bertambah buruk dengan amplifikasi oleh pemberitaan media. Berbagai kasus tersebut seperti menggeser beban kerja pemerintah dari departemen atau kementerian ke pundak presiden semata. [caption id="attachment_84446" align="aligncenter" width="356" caption="Kabinet Indonesia Bersatu II (matanews.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H