"Setelah pemecatan Jackie Chan, kepala desa kali ini menyewa Jet Li sebagai kepala pengawal. Celakanya adalah, Jet Li ternyata masih lugu dan tidak bisa berbahasa Indonesia…".
Kutipan di atas bukanlah sebuah paragraf cerita pendek atau novel parodi, melainkan sebuah lead dari satu bab dalam buku komputer: Seni Internet Hacking ReCODED!
Inspirasi yang saya peroleh dari buku tersebut bukanlah bagaimana menyusup dan menaklukkan sistem keamanan jaringan ala WikiLeaks. Pelajaran dari buku ini adalah bagaimana menjelaskan sebuah materi yang rumit dengan metode dan penuturan yang bersahabat.
Pengarang buku, S’to, mampu menyajikan pelajaran yang njlimet dengan pendekatan yang mudah dipahami oleh pembaca. Melalui analogi kisah pemilihan kepala desa di era cyber, S’to berhasil (menurut saya) memberikan gambaran dari tujuan sekaligus prosedur tata cara meretas jaringan komputer. Selain penggunaan analogi, ia juga menggunakan ragam bahasa akrab untuk mendekatkan diri dengan pembaca.
Demikianlah sebuah hasil kreativitas, hal-hal yang musykil diubah menjadi mudah tanpa menyimpang dari tujuan utama. Etos kreativitas ini perlu dimiliki oleh perbankan syariah dalam mensosialisasikan produk-produknya kepada masyarakat Indonesia yang plural.
Memperkenalkan produk perbankan syariah sebenarnya menghadapi dua kesulitan. Pertama, produk perbankan syariah harus bersaing dengan produk perbankan konvensional yang sudah lebih dahulu mapan. Kedua, memperkenalkan sistem perbankan Islami sebagai sebuah sistem yang berbeda secara prinsipil dengan perbankan konvensional, yaitu menghindari riba. Dalam konteks ini daya kreativitas memegang peranan penting agar kedua tujuan tersebut dapat terpenuhi.
Mengapa kreativitas memegang peranan penting?
Hermawan Kertajaya, pakar pemasaran Indonesia, mengibaratkan bahwa dunia sekarang ini berada dalam era “Venus”. Perumpamaan ini diambil dari mitologi Romawi kuno yaitu tentang Venus, dewi cinta dan kecantikan. Maknanya adalah, dalam era informasi sekarang ini, pelanggan (atau calon pelanggan) sudah lebih emosional. Setiap pelanggan sesuai latar belakangnya harus dihadapi dengan cara yang berbeda-beda. Tidak boleh ribet sedikit, pelanggan dapat langsung ngambek dan beralih ke produk lain. Celakanya, keputusan untuk mengalihkan pilihan ini dapat menular dengan cepat didukung pesatnya perkembangan teknologi informasi.
Urusan ribet atau gampang, menarik atau tidak, berkaitan dengan pengalaman saya beberapa waktu lalu, tahun 2008. Pada saat sedang perlu mencari tahu perihal perbankan syariah, saya membaca 2 edisi sebuah majalah tentang tema tersebut. Kesan kurang menarik timbul begitu saja ketika membuka lembar-lembar majalah itu. Gaya bahasanya datar dengan pilihan kata yang ‘resmi’ dan baku. Di sana sini bertaburan istilah-istilah asing yang perlu usaha tersendiri untuk memahaminya. Belum lagi visual yang banyak menampilkan foto-foto acara seremonial dan gambar-gambar abstrak. Sungguh jauh berbeda dengan majalah-majalah seperti Hai, Tempo, PC Media, apalagi National Geographic.
Menurut Anda mungkin ‘ga imbang, bukan perbandingan apple to apple. Ya…, Anda benar, dari segi harga atau anggaran produksi mungkin berbeda. Tetapi dari segi gaya bahasa penyampaian, diksi, tata letak, tipografi, tata warna dan beberapa aspek lain dapat dibuat sama menariknya tanpa harus mengorbankan anggaran.
Dalam penelusuran di situs-situs internet pun, nampaknya aspek bahasa dan visual ini seringkali kurang mendapat perhatian. Padahal sebagai sebuah konsep, selayaknya perbankan syariah dikemas sebaik-baiknya agar mampu memikat pembaca dan selanjutnya nasabah. Peranan kreativitas, dalam hal ini desain grafis, penting artinya agar kegiatan sosialisasi lewat media cetak atau internet memiliki daya tarik yang kuat. Jika tampilan majalah, situs, atau buku tentang perbankan syariah memiliki konsep desain grafis yang eye catching, tentu ia akan dilirik. Setelah itu tinggal garapan bahasa yang akan menentukan apakah pembaca akan tergugah untuk melahap isinya atau akan meletakkannya kembali.
Selain masalah kulit luar, satu hal yang menggelitik untuk dicermati adalah masalah penggunaan istilah. Kembali kita bandingkan dengan dunia teknologi informasi (untuk selanjutnya saya singkat TI).
Sosialisasi dunia TI dan perbankan syariah memiliki kesamaan dalam hal penyerapan istilah-istilah yang berasal dari bahasa asing. Dunia TI banyak menggunakan istilah dari bahasa Inggris, sedangkan perbankan syariah banyak meminjam bahasa Arab. Istilah-istilah tersebut berkaitan dengan penjelasan sistem. Jadi mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus disertakan sebagai satu bagian utuh. Hanya, bagaimana caranya?
Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita membandingkan populasi pengguna dan frekuensi pengajaran bahasa Inggris dan bahasa Arab di Indonesia.
Bahasa Inggris saat ini secara umum dipelajari setidaknya dari sejak Sekolah Dasar kelas 4 hingga perguruan tinggi. Untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, materi pelajaran ini bahkan diujikan dalam Ujian Nasional. Bahasa Arab dipelajari di pesantren, sekolah madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah), Sekolah Tinggi Agama Islam, kursus atau sejenisnya. Satu hal lagi, di madrasah atau pesantren, bahasa Inggris mungkin dipelajari juga, tetapi tidak sebaliknya di sekolah umum.
Latar belakang pengajaran ini dapat memberikan gambaran kepada kita seberapa besar perbandingan populasi penduduk yang mengenal dengan baik kedua bahasa asing tersebut dan seberapa akrabkah mereka. Jadi, walaupun di Indonesia Umat Islam jumlahnya mayoritas, bahasa Arab tidaklah serta merta mudah dipahami, kecuali barangkali untuk keperluan peribadatan. Inilah realitasnya.
Sekarang marilah kita telusuri nasib istilah-istilah yang kita bandingkan tadi dalam tata bahasa kita. Dalam buku EYD dan Seputar Kebahasa-Indonesiaan (Ernawati Wasidah, 2008), terdapat 629 istilah computer yang sudah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Popularitas dan keberterimaan istilah padanan memang tidak selalu sama dengan bahasa asli. Tetapi padanan itu sedikit banyak dapat membantu masyarakat memahami makna dari kata asal. Sebagai contohnya:
- rata kiri (align left)
- penjelajah (browser)
- balasan otomatis (auto reply)
- pengguna langsung (direct user).
Di samping itu, penyusunan padanan istilah itu sendiri sudah menunjukkan adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk menjembatani pemahaman penduduk Indonesia terhadap teknologi informasi.
Berbanding terbalik keadaannya dengan istilah-istilah dalam perbankan syariah.
Dalam penjelasan Buku Saku Perbankan Syariah (PKES, tahun?), juga majalah atau buku terkait lainnya, saya menangkap kesan adanya pengutamaan (atau diutamakan?) bahasa Arab dibanding bahasa Indonesia. Pada umumnya penulisan istilah-istilah tersebut dilakukan dengan menulis dahulu istilah bahasa Arab diikuti penjelasan bahasa Indonesia dalam kurung, kalau ada. Contohnya:
- syirkah (bagi hasil)
- ijarah (sewa)
- rahn (gadai).
Apabila tidak ada padanannya, maka istilah yang dimaksud biasanya dijelaskan menurut konsep. Istilah tersebut harus diupayakan agar memiliki padanan untuk memudahkan pemahaman masyarakat sebagai sasaran dalam sosialisasi perbankan syariah. Sekali lagi di sini daya kreativitas menemukan peranannya.
Untuk memudahkan pemahaman masyarakat, penulisan padanan istilah perbankan syariah dalam bahasa Indonesia sebaiknya diutamakan. Dalam contoh di atas, penulisan sebaiknya:
- bagi hasil (syirkah)
- sewa (ijarah)
- gadai (rahn).
Sayang sekali apabila konsep perbankan syariah yang komprehensif dan dapat menjadi pilihan untuk membangun masyarakat yang berkeadilan secara ekonomi harus terhambat oleh masalah komunikasi.
Artikel dipublikasikan juga di:
http://puskesmat.wordpress.com/http://www.facebook.com/people/Secondhalfofnine-Agungkng/100000576085137http://twitter.com/agungsundowo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H