Mohon tunggu...
Agung Saputra
Agung Saputra Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

hobi saya bermain futsal

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Edukasi Dua Tokoh Pendiri Ormas Islam di Indonesia Yang Berbeda Perspektif

25 Desember 2024   06:00 Diperbarui: 25 Desember 2024   06:00 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Ahmad Dahlan, dua tokoh pendiri ormas islam di Indonesia

Pada tanggal 18 November 1912 ada seorang ulama kharismatik yang dikenal kealimannya, berlatar belakang yang baik itu mendirikan ormas islam yakni Muhammadiyah, beliau memiliki guru yang bernama Syekh Muhammad Khotib Al-Minangkabawi, beliau adalah KH. Muhammad Darwis yang namanya diganti oleh gurunya menjadi KH. Ahmad Dahlan. Beliau ini lahir pada tanggal 1 Agustus 1868 dikauman Yogyakarta. Beliau ini memiliki seorang ayah yang bernama KH. Abu Bakar yang mana seorang ayahnya ini ialah ulama dan khatib terkemuka di masjid besar kesultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibunda dari beliau itu adaah putri dari H. Ibrahim yang juga menjabat oenghelu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu. Beliau ini termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) salah seorang yang terkemuka di antara walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama islam di tanah Jawa.

Beliau dididik dengan sungguh-sungguh oleh ayahnya yang relefansi dengan ilmu keagamaannya, dengan cara melatih pemikiran beliau sehingga mampu berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridho dan Ibnu Taimiyah pada masa periode tahun 1883 di Mekkah, sekaligus beliau diberangkatkan haji oleh ayahnya dan dapat bantuan biaya dari kaka iparnya yang bernama KH. Sholeh pada umur 15 tahun. Setelah menunaikan haji dan sebelum pulang ke kampung halaman, beliau mendapat nama baru yakni Ahmad Dahlan. Singkatnya pada tahun 1888 ia sampai dikampung halaman, tidak lama sampai di situ beliau menikah dengan Siti Walidah sepupunya sendiri yang mana ia dikenal sebagai salah satu Pahlawan Nasional dan Pendiri Aisyiyah pada tahun 1917 diYogyakarta. Beberapa tahun setelahnya, ia kembali berangkat ke Mekkah dan menetap disana selama dua tahun. Pada keberangkatan kedua ini ada kesengajaan dikarenakan ingin memperdalam dan memperluas ilmu keagamaan. Untuk ini, ia juga berguru dengan Syekh Ahmad Khotib yang mana juga guru dari pendiri Nahdlatul Ulama yakni KH. Hasyim Asy'ari.[1]

 

Selanjutnya, pada tanggal 31 Januari tahun 1926, ada seorang ulama yang mendirikan ormas islam di Indonesia setelah berdirinya Muhammadiyah, yakni Nahdlatul Ulama. Beliau lahir pada tanggal 14 Februari tahun 1871. Beliau ini seorang Ulama, Pahlawan Nasional sekaligus menjadi Rais Akbar (pimpinan tertinggi pertama) pada ormas islam di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama. Beliau ini memiliki nama laqob (julukan) Hadrotussyaihk yang berarti Mahaguru dan telah hafal kutubus shittah (6 kitab hadits), serta memiliki julukan Syaikhul Masyahikh yang berarti Gurunya Para Guru. Ia adalah putra dari pasangan K.H. Asy'ari dengan Ny. H. Halimah, dilahirkan di Desa Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur, dan memiliki salah satu anak bernama K.H. A Wahid Hasyim yang juga merupakan pahlawan nasional perumus Piagam Jakarta, serta cucunya yakni K.H. Abdurrahman Wahid, merupakan Presiden RI ke-4.

Dari garis keturunan sang ayah, beliau merupakan keturunan dari Rasulullah. Dan selain keturunan Rasulullah, beliau juga termasuk keturunan dari Sunan Giri, wali yang menyebarkan agama islam di tanah Jawa. Sementara dari garis keturunan sang ibu, beliau keturunan raja terakhir kerajaan Majapahit, Raja tersebut yakni Raja BrawijayaVI (Lembu Peteng). Hasyim, sedari kecil tinggal berdampingan di lingkungan pesantren tradisional. Di sana, ia belajar dasar-dasar Islam dari pondok pesantren yang dipimpin sang ayah, Pesantren Keras. Menginjak usia 15 tahun, Hasyim melancong ke beberapa pesantren di Jawa. Mulai dari Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pesantren Tambakberas (Jombang), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Cepoko (Ngawi), serta Pesantren Sarang (Rembang). Enam tahun berselang, Hasyim memperistri Nafisah yang merupakan putri dari Kiai Ya'qub Siwalan Panji. Ia kemudian menunaikan ibadah haji bersama mertua dan istrinya.

Tak hanya menjalankan ibadah haji, beliau juga menimba ilmu kepada beberapa ulama terkemuka yakni Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Muhammad Salih al-Samarqnadi, Syeikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Thahir al-Ja'fari, serta Syaikh Muhammad Mahfuzh al-Tarmasi. Sebelum kembali ke Tanah Air, KH Hasyim juga sempat mengabdi sebagai pengajar di Masjidil Haram. Ia menyandang gelar Syaikhul Haram.[2]

            Kedua pendiri ormas islam di Indonesia ini, memiliki latar belakangan yang sangat baik dari segi pendalaman keilmuan bidang agama sangat antusias sekali, dan juga memiliki intelektual dalam ketangkasan rasionalisme untuk memutuskan suatu kehendak. Maka jangan heran, meskipun mereka memiliki guru yang sama, akan tetapi mereka punya gagasan masing-masing dalam sejarah islam di Indonesia. Kedua nya memiliki ciri khas dalam memimpin setiap organisasinya. Sebelum itu, penulis ingin memaparkan teori terkait kedua organisasi yang didirikan oleh kedua ulama kharismatik ini pada masanya.

 

  • Organisasi Massa Jam'iyyah Muhammadiyah

Organisasi ini, didirikan pada tanggal 18 November 1912 dengan berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Yang mana kedua tersebut menjadi rujukan untuk memutuskan sebuah hukum. Landasan ideologi Muhammadiyyah adalah Q.S Ali-Imran ayat 104 yang artinya "hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung"[3]. Maksud dari ayat tersebut, yakni perintah untuk bersatu dalam organisasi untuk menyebarkan kebajikan, dan mencegah dari pada yang nahi munkar.

 

  • Organisasi Massa Jam'iyyah Nahdlatul Ulama

 Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 januari 1926 dengan berlandaskan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA), yang mana Aswaja ini tidak hanya berpatokan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah akan tetapi Aswaja ini juga merujuk kepada Empat Imam Madzhab, yakni: 1. Madzhab Hanafi, 2. Madzhab Maliki, 3. Madzhab Syafi'ie, 4. Madzhab Hambali. Karena opini Penulis terkait ketidakhanyaan NU pada rujukan Qu'an dan Sunnah itu bukan tanpa sebab, melainkan 2 rujukan itu dalam konteks ayat dan teks hadits tidak semua mudah dipahami. Salah satunya pada rujukan Qur'an. Al-Qur'an terbagi menjadi 2 Ayat, yang pertama Ayat Mutasyabbihat, yang kedua Ayat Muhkamat.

 

Ayat Mutasyabihat ini harus dipahami secara teliti yang tidak hanya bisa dipahami dari segi arti. Sedangkan Ayat Muhkamat ini dapat dipahami langsung dari segi arti ayat tersebut. Maka dari itu, Penulis memberikan pandangan antara kedua organisasi ini dan pendirinya yang secara nasab keguruan mereka nyambung, akan tetapi dari segi rasionalisme mereka bisa berbeda.

 

KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan bertujuan mengajak umat islam untuk kembali hidup sesuai tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ali-Imran Ayat 32 yang artinya: 

 

katakanlah wahai Muhammad, "taatilah Allah dan Rasul, jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir".[4]

 

Maka dengan ini, KH. Ahmad Dahlan yang punya pemikiran bahwa hidup dengan tuntunan Qur'an dan Hadits diperkuat oleh ayat tersebut. Untuk mengangat topik mengenai pembaharuan pada dasar pemikiran islam dalam perspektif KH. Ahmad Dahlan, itu harus di analisa apa pembaharuan yang di lakukan oleh KH. Ahmad Dahlan pada dasar pemikiran islam ini?

 

KH Ahmad Dahlan sebenarnya tidak mendapat pendidikan dalam tahapan yang seharusnya. Sebagian besar dia peroleh dari sang ayah dan otodidak. Namun menjelang dewasa, KH Ahmad Dahlan mendapat kesempatan untuk berguru dengan beberapa ulama besar, seperti KH Muhsin, KH Raden Dahlan, KH Mahfud, dan beberapa ulama lainnya. Dari para ulama tersebut, KH Ahmad Dahlan banyak mendapat ilmu baru, mulai dari ilmu fiqh, ilmu hadits, hingga ilmu qira'at. Berawal dari situ, KH Ahmad Dahlan pun memiliki pemikiran untuk melakukan pembaruan Islam di Indonesia, baik dalam bidang keagamaan ataupun pendidikan yang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, seperti minimnya pendidikan pada masa itu.

 

Pada waktu itu, pengajaran masih dilakukan dengan sangat sederhana di surau-surau dan pondok pesantren tradisional yang hanya mengajarkan tentang materi keagamaan tanpa mengajarkan tentang ilmu pengetahuan umum. Didorong dengan kondisi ini, KH Ahmad Dahlan pun terpanggil untuk melakukan pembaruan dalam gerakan Islam di Indonesia. Adapun pembaruan yang dilakukan KH Ahmad Dahlan adalah mengambil peran dalam mengembangkan pendidikan Islam dengan melakukan pendekatan yang lebih modern. Gagasan pemikiran tersebut didapatkan ketika dia bermukim di Mekkah selama lima tahun untuk menimba ilmu agama sejak 1888 hingga 1903.[5]

 

Berbeda dengan halnya KH. Hasyim Asy'ari, yang latar belakangnya berbasis pondok pesantren, yang pada masa itu masih menggunakan sistem pembelajaran tradisional. Namun untuk pemikiran, walaupun menggunakan sistem pembelajaran tradisional tidak kalah dengan pendidikan ilmu pengetahuan. Beliau menerapkan landasan aswaja di NU untuk menyeimbangkan kesetaraan pada kadar keilmuan. NU itu dulu memiliki nama lailatul ijtima'iyyah, dikarenakan para ulama pada masa itu berkumpul di malam hari membahas tentang agama. Beliau menerapkan budaya tradisional secara moderat tanpa adanya membawa keekstriman. Sebagaimana yang di katakan Imam Hasan Basri: "Mengedepankan Kultural Agama secara Moderat tanpa membawa keekstreman"

 

Dari sinilah sudah terlihat bahwa pemikiran antara KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasym Asy'ari berbeda dari sisi tujuan untuk memberikan pembaharuan terhadap sejarah islam. KH. Ahmad Dahlan memiliki tujuan untuk mengajak kepada umat islam supaya selalu berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup, sementara KH. Hasyim Asy'ari itu juga tetap berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, namun beliau juga mengikuti para Empat Imam Madzhab yang menjadi landasan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah.

            Kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perbedaan antara NU dan Muhammadiyah ialah bagaimana cara mereka berpandangan untuk memperbaharui sejarah islan di Indonesia. Setiap seseorang memiliki pemikiran masing-masing untuk merancang konsep-konsep kedepan dengan pendidikan yang ia pernah dapatkan, itu semua boleh jadi bisa diambil dari pengalaman-pengalaman selama mereka berpendidikan di luar negri yang pernah terkoneksi pemikirannya dengan yang lain, dan tentu ini menjadi bagian kenormalisasian terhadap umat islam yang mungkin pada masa itu masih terombang ambing dan tidak kunjung mendapatkan arah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun