Mohon tunggu...
Agung Sapta
Agung Sapta Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Indonesia Bersatu

Semangat berjuang untuk perubahan yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Ketika Dokter Menolak Sistem yang Tidak Pro Rakyat

31 Oktober 2016   10:33 Diperbarui: 31 Oktober 2016   10:45 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu yang lalu, 24 Oktober 2016 dokter Indonesia kompak turun ke jalan menuntut REFORMASI SISTEM KESEHATAN YANG PRO RAKYAT dan REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN DOKTER YANG PRO RAKYAT. Di Jakarta ribuan dokter melakukan aksi damai longmarch dari Parkir Gambir hingga Istana Negara, tidak lupa menyambangi Kementerian Kesehatan yang disebut sebagai ibu para dokter. Walaupun aksi ini serentak dilakukan di hampir tiap kota/ kabupaten namun dipastikan tidak ada gangguan pelayanan yang signifikan, karena yang datang adalah perwakilan dan prioritas untuk pelayanan emergency dan perawatan pasien kritis tidak akan ditinggalkan.

Menariknya kali ini IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memperingati Hari Dokter ke-66 dengan sebuah acara yang jauh dari seremonial dan bahkan menepis kesan dokter sebagai profesi yang mapan dan jauh dari rakyat. Sayangnya masih banyak yang belum menangkap PESAN PENTING DARI AKSI DOKTER kali ini, media dan masyarakat mungkin belum bisa melihat ada PERMASALAHAN BESAR yang menyebabkan dokter harus turun ke jalan, begitupula PEMERINTAH MUNGKIN TIDAK MAU MELIHAT, BISU DAN TULI atas teriakan dokter yang sebenarnya sangat keras, jelas dan tegas.

Dalam aksi kemarin dokter TIDAK MENUNTUT KESEJAHTERAAN, tidak pula permintaan untuk diistimewakan walaupun sebenarnya negeri ini sudah mulai SOMBONG DAN ZALIM terhadap rakyatnya sendiri. Ya negeri ini seakan tidak butuh dokter, profesi dokter sejak pendidikan dijadikan proyek komersil. Semua yang terkait dokter menjadi mahal, bahkan pajak dokter pun dibuat SELALU LEBIH BAYAR. Wajar kalau kemudian dokter selalu dilihat sebagai gambaran profesi elit, kaum sukses dan jauh dari kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat negeri ini. Dokterpun selalu menjadi KAMBING HITAM atas carut marutnya SISTEM KESEHATAN NASIONAL.

Secara tidak disadari sebenarnya pemerintah menjauhkan profesi ini dari sejarahnya sebagai profesi pejuang. Dokter yang semestinya dididik untuk selalu bersikap kritis dan membela kepentingan rakyat TERPAKSA harus hidup dalam HUTAN RIMBA BELANTARA KESEHATAN. Dokter dijerumuskan dalam  persaingan untuk bisa hidup dan makan dari SEKTOR KESEHATAN yang semestinya merupakan kewajiban negara (pemerintah) untuk memenuhinya. Dokter terpaksa harus hidup dari pasien karena pemerintah memang tidak pernah menganggap penting adanya standar penghasilan profesi dokter apalagi menjadikan DOKTER SEBAGAI TENAGA STRATEGIS agar dokter hanya perlu memikirkan pelayanan dan keselamatan pasien-pasiennya. Kenyataannya pemerintah membiarkan sektor kesehatan sebagai HEALTH INDUSTRY yang dikuasai kapitalis (terutama asing) dan dokter dijerumuskan menjadi sekedar pekerja produksi jauh dari esensi sebuah profesi mulia.

Saatnya Sejarah Perjuangan Dokter Terulang Kembali

Harus diakui bahwa dokter Indonesia awalnya dicetak Belanda karena kebutuhan tenaga kesehatan untuk mengatasi wabah penyakit. Walaupun Belanda beralasan menjalankan Politik Etis(pendidikan, pengairan dan perpindahan penduduk) sebagai panggilan moral dan hutang budi kepada bumiputera tetap saja misinya untuk mendukung kolonialisasi. Kebijakan etis di bidang pendidikan melahirkan kelompok elite baru berupa kaum terpelajar, kaum intelektual atau kaum cendikiawan.

Sebelumnya Belanda hanya memberikan penghormatan kepada elite lama berdasarkan struktur politik yang berlaku pada masyarakat pribumi yaitu penguasa pribumi : raja, patih, penguasa lokal bupati, wedana, asisten dan lurah.

Perkembangan dari Sekolah Dokter-Djawa kemudian berubah menjadi School tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA atau Sekolah untuk Pendidikan Kedokteran Pribumi) pada tahun 1902 dan berdiri pula Nederlandsche-Indische Artssenschool (NIAS atau Sekolah Dokter Hindia Belanda) di Surabaya pada tahun yang sama sebenarnya seiring dengan semakin meluasnya usaha perkebunan swasta di Hindia Timur dimana kesehatan para pekerja menjadi aset penting, sedangkan Dokter Eropa susah didapat dan mahal gajinya.

Elite baru bumiputera dalam perkembangannya terdorong untuk melakukan perubahan nasib bangsa yang diawali dengan tumbuhnya kesadaran nasional yang pada akhirnya menjadi gerakan nasionalisme. Dokter pada saat itu merupakan priyayi rendahandi bawah priyayi atas yaitu petugas administrasi pemerintahan seperti bupati atau birokrat lainnya.

Kegagalan priyayi atas memperlakukan dokter secara profesional (karena memperoleh status sosial berdasarkan kualifikasi pendidikan bukan sekedar hadiah) mendorong dokter sebagai elit yang memiliki kesadaran nasional dalam tiga hal :

(1). Kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan;

(2). Mempersepsikan dan memaknai watak imperialisme yang dipraktekkan kolonial Belanda;

(3). Pandangan atas arah dan tujuan yang harus dicapai di masa mendatang.

Keinginan kolonial Belanda dan kaki tangannya yaitu priyayi atas dalam memanfaatkan profesi dokter sebagai priyayi rendahan untuk kepentingan imperialisme ternyata gagal total karena elit dokter yang terbentuk justru lebih banyak berpihak pada rakyat. Walaupun memiliki strata sosial yang lebih tinggi dibanding rakyat jelata tetapi mereka memiliki rasa nasionalisme dan keberanian bersikap. Hal ini sudah terbentuk saat pendidikan dokter STOVIA.

Mereka tidak hanya mempelajari ilmu kedokteran saja, tetapi mempelajari banyak ilmu sosial dan politik serta berinteraksi langsung dengan rakyat. Terbukti walaupun banyak yang pemuda yang tidak tamat pendidikan STOVIA semisal Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mereka tetap kritis dan berperan aktif melakukan perubahan kebangsaan. Sebagian yang lain walaupun lulus sebagai dokter mereka tetap memperhatikan masalah lain di luar kesehatan. Lewat tulisan dan organisasi mereka para dokter dan mantan pelajar STOVIA banyak melakukan perubahan.

Dokter Indonesia Bangkit dan Bersatu Dengan Rakyat

Sudah semestinya profesi dokter kembali pada garis perjuangan bersama rakyat. Dokter semestinya bukan sekedar alat kekuasaan apalagi alat kapitalis asing. Kata pengabdian bukan ditujukan kepada Penguasa yang zalim dan dukungan profesi terhadap kesehatan hanyalah untuk rakyat semata. Wajar kalau suatu saat rakyat dan profesi dokter bersatu MENUNTUT SEBUAH SISTEM YANG PRO RAKYAT, sebuah kebutuhan bangsa sekaligus kewajiban negara untuk menjalankannya. Bagi dokter Indonesia saat ini tidak ada pilihan lain selain berjuang bersama dan untuk rakyat.

Apakah pemerintah masih membutuhkan dokter di negeri ini ?
Cepat atau lambat kebenaran akan terungkap dan rakyat pada akhirnya akan tahu MENGAPA DOKTER HARUS TURUN KE JALAN !!!

31 Oktober 2016

Agung Sapta Adi
Dokter Indonesia Bersatu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun