Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, yang memiliki arti, Indonesia tidak berdasarkan kekuasaan belaka dan oleh karena hal demikian kekuasaan wajib tunduk kepada hukum agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Argumentasi hukum berasal dari bahasa Belanda, yaitu "argumenteren", atau dalam bahasa Inggris, yaitu "argumentation", yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam argumentasi hukum atau nalar hukum. Argumentasi hukum merupakan suatu hasil dari proses berpikir yang dibutukan oleh setiap ahli hukum, calon ahli hukum atau penegak hukum sekalipun, yang secara umum dapat dibedakan dalam kelompok akademisi dan praktisi. Adapun dalam kelompok akademisi sebagai contoh, yaitu meliputi dosen, mahasiswa, dan peneliti. Sedangkan dalam kelompok praktisi, meliputi hakim, jaksa, notaris, advokat, dan polisi. Argumentasi hukum pada dasarnya bukan merupakan dari bagian logika, akan tetapi merupakan bagian dari teori hukum. Hal ini mengingat bahwasanya ilmu hukum merupakan ilmu yang memiliki kepribadian yang khas (sui generis). Argumentasi hukum atau yang disebut juga sebagai legal reasoning merupakan suatu proses berpikir yang terikat dengan jenis hukum, sumber hukum, jenjang hukum. Yang dimana dalam hal ini memiliki makna selalu berkaitan dengan pemahaman konsep hukum yang terdapat di dalam norma-norma hukum, dan asas-asas hukum. Upaya legal reasoning dalam rangka kegiatan penemuan dan pembentukan hukum harus dilandasi dengan pemahaman tentang sistem hukum yang berlaku apabila dikehendaki suatu hasil yang optimal dan logik.
Dalam Black's Law Dictionary istilah Rectroativie  adalah extending in scope or effect to matters that have occured in the past. Di negara Indonesia Retroactivie (Retroaktif) disebut dengan nama "berlaku surut". Begitupun Asas Retroaktif (hukum yang berlaku surut), yang tercantum dalam penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. [23.08, 10/9/2023] Agung Risky S Marpaung: Ketentuan apakah suatu hukum dapat berlaku secara retroaktif atau tidak tergantung pada peraturan dan prinsip hukum yang berlaku di negara tertentu. Tidak semua hukum dapat diterapkan secara retroaktif, dan banyak yurisdiksi memiliki pembatasan terhadap penerapan hukum retroaktif. Sebagai contoh:
1. Pembatasan Konstitusional : Dalam banyak negara, konstitusi mereka mungkin memiliki ketentuan yang melarang penerapan hukum secara retroaktif. Ini berarti hukum baru tidak dapat diterapkan untuk peristiwa yang telah terjadi sebelum undang-undang tersebut berlaku jika hal ini melanggar konstitusi.
2. Prinsip Keadilan : Prinsip keadilan juga dapat menjadi pertimbangan. Penerapan hukum retroaktif dapat dianggap tidak adil jika itu merugikan hak-hak individu atau mengubah kewajiban yang telah ada sebelumnya.
3. Ketentuan Hukum Khusus: Beberapa undang-undang atau peraturan mungkin memiliki ketentuan khusus yang mengizinkan penerapan retroaktif dalam situasi tertentu, seperti perubahan pajak atau kebijakan keamanan nasional.
Pada dasarnya, apakah suatu hukum dapat diterapkan secara retroaktif atau tidak akan bergantung pada hukum dan peraturan yang berlaku di yurisdiksi tertentu, serta pertimbangan konstitusional dan etika. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji peraturan hukum yang berlaku di negara atau wilayah tertentu untuk menentukan apakah suatu hukum tertentu dapat diterapkan secara retroaktif atau tidak. Kemampuan hukum untuk berlaku retroaktif atau tidak tergantung pada undang-undang dan peraturan yang berlaku di suatu yurisdiksi tertentu. Setiap yurisdiksi dapat memiliki aturan yang berbeda tentang apakah hukum dapat diterapkan secara retroaktif atau tidak.
Asas-asas utama dalam argumentasi hukum adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Keadilan: Argumentasi hukum harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan yang melibatkan perlakuan yang adil dan setara terhadap semua pihak yang terlibat dalam kasus atau permasalahan hukum.
2. Pertimbangan Hukum yang Berlaku: Argumentasi hukum harus mempertimbangkan undang-undang, peraturan, dan preseden hukum yang berlaku. Ini berarti bahwa argumen harus sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku.
3. Logika dan Rasionalitas: Argumentasi hukum harus berdasarkan logika yang kuat dan rasionalitas. Argumen harus dapat dijelaskan dengan jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
4. Fakta yang Relevan: Argumentasi hukum harus didukung oleh fakta-fakta yang relevan dan dapat diverifikasi. Pihak yang berargumen harus mengumpulkan bukti-bukti yang relevan untuk mendukung klaim mereka.
5. Kepatuhan terhadap Etika Profesional: Bagi para pengacara dan profesional hukum, argumentasi hukum harus mematuhi etika profesional dan standar tinggi dalam praktik hukum.
6. Kepastian Hukum: Argumentasi hukum sebaiknya memperhatikan prinsip kepastian hukum, yang mengharuskan pengembangan hukum yang konsisten dan dapat diprediksi.
7. Pendekatan Kasus per Kasus: Setiap kasus hukum adalah unik, dan argumentasi hukum harus disesuaikan dengan fakta dan keadaan khusus dari kasus tersebut.
8. Penyampaian yang Efektif: Argumentasi hukum harus disampaikan dengan cara yang efektif, baik secara tertulis maupun lisan, agar mudah dipahami oleh pihak yang berkepentingan, hakim, atau dewan juri (dalam perlombaan debat).
9. Asas Non-Diskriminasi: Argumentasi hukum harus menghindari diskriminasi dan memperlakukan semua individu atau kelompok dengan adil dan tanpa prasangka.
10. Penghormatan terhadap Otoritas Hukum: Argumentasi hukum harus menghormati otoritas hukum, seperti putusan pengadilan yang sudah ada atau interpretasi hukum yang telah diberikan oleh lembaga yang berwenang.
Merupakan beberapa asas dasar yang menjadi pedoman dalam argumentasi hukum. Namun, penting untuk diingat bahwa praktik hukum dapat berbeda-beda di berbagai yurisdiksi dan konteks hukum tertentu.
Teknik argumentasi hukum berisi tentang strategi serta taktik dalam kegiatan beragumentasi. Setiap argumentasi hukum mempunyai target-target yang hendak dicapai. Dalam beragumentasi hukum, berkesinambungan dengan pemahaman terhadap logika, serta penalaran hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi para lawyer, hakim, jaksa, praktisi hukum, bahkan juga bagi para mahasiswa hukum dan masyarakat umum yang meminati persoalan hukum agar mampu berpikir kritis serta argumentatif dalam memahami prinsip, asumsi, aturan, proposisi, dan praktik hukum. Dengan berbekal kemampuan penalaran dan argumentasi yang memadai di bidang hukum, kebenaran dan keadilan hukum dapat ditemukan, diungkap, diuji, dan dijustifikasi. Asumsi-asumsi atau makna-makna yang tersembunyi dalam peraturan dan ketentuan hukum pun dapat dijustifikasi dihadapan rasio (akal budi) manusia.
Dalam argumentasi hukum, penggunaan asas retroaktif merujuk pada upaya untuk menerapkan hukum baru atau putusan pengadilan terhadap peristiwa atau kasus yang terjadi sebelum hukum atau putusan tersebut diberlakukan. Ini dapat menjadi topik yang kompleks dan kontroversial dalam hukum.
Argumentasi hukum yang melibatkan asas retroaktif dapat terjadi dalam beberapa konteks, seperti:
1. Interpretasi Hukum : Saat seorang pengacara atau pengadilan mencoba menentukan bagaimana hukum yang baru diberlakukan akan memengaruhi kasus yang telah ada sebelumnya. Ini dapat melibatkan pertanyaan tentang apakah hukum tersebut seharusnya diterapkan secara retroaktif atau hanya berlaku ke depan.
2. Pemutusan Pengadilan : Ketika seorang Hakim harus memutuskan apakah putusan pengadilan yang baru seharusnya diterapkan pada kasus yang sedang dia hadapi, yang mungkin telah dimulai sebelum putusan tersebut.
3. Konstitusionalitas : Pertanyaan tentang konstitusionalitas asas retroaktif juga bisa menjadi perdebatan hukum. Beberapa yurisdiksi memiliki batasan konstitusional terhadap penggunaan asas retroaktif.
4. Pengaruh Terhadap Hak Individu: Argumentasi hukum tentang asas retroaktif sering mencakup pertimbangan terkait dengan hak-hak individu dan keadilan. Penerapan hukum baru secara retroaktif dapat memiliki dampak signifikan pada hak dan kewajiban individu yang mungkin telah mengandalkan hukum yang ada pada saat peristiwa terjadi.
Ketika menghadapi kasus yang melibatkan asas retroaktif, pengacara dan pengadilan biasanya mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum, preseden, dan pertimbangan etika untuk membuat keputusan yang tepat. Hal ini dapat melibatkan pertimbangan terhadap keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan dalam konteks tertentu.
Dalam konteks argumentasi hukum, "retroaktif" mengacu pada kemampuan untuk menerapkan hukum atau prinsip hukum kepada situasi atau peristiwa yang telah terjadi sebelum hukum atau prinsip tersebut diberlakukan atau diinterpretasikan secara resmi. Ini bisa menjadi topik yang kontroversial dalam hukum, karena dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap hak dan kewajiban individu.
Dalam beberapa kasus, dalam rangka mencapai keadilan atau mengoreksi ketidakadilan masa lalu, pengacara atau hakim dapat mencoba mengajukan argumen yang mendukung penggunaan asas retroaktif. Namun, ini sering kali menjadi perdebatan dalam sistem hukum, karena prinsip kepastian hukum juga sangat penting. Penerapan asas retroaktif dapat mempengaruhi hak-hak individu yang mungkin telah bertindak sesuai dengan hukum yang ada pada saat itu.
Penggunaan atau penerapan asas retroaktif dalam argumen hukum akan sangat tergantung pada fakta-fakta kasus dan hukum yang berlaku di yurisdiksi tertentu. Ini sering menjadi pertimbangan kompleks dan memerlukan pertimbangan hati-hati oleh para pengacara, hakim, dan ahli hukum yang terlibat dalam kasus tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!