Ilmu Ekonomi, sebagai cabang ilmu yang luas telah melahirkan berbagai ide dan gagasan konseptual yang memengaruhi cara pandang terhadap ekonomi itu sendiri. Salah satu landasan yang terkenal dalam bidang ini adalah teori mercantilism. Mercantilism Theory pertama kali dicetuskan pada abad ke-16 hingga abad ke-18.Â
Selama dua abad tersebut, banyak ekonom terkemuka seperti Sir Josiah Child, Thomas Mun, Jean Bodin, Von Hornich, dan Jean Baptiste Colbert yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran penting dalam mengembangkan teori ini. Pandangan bersama para ekonom dunia tentang mercantilism menekankan pentingnya peran negara dalam mengatur dan mengontrol ekonomi untuk mencapai kesejahteraan. Ini adalah persamaan pemikiran yang menjadi titik awal sekaligus sentral dalam memahami konsep mercantilism.
Definisi Mercantilism Theory
Mercantilism Theory, atau yang lebih dikenal sebagai Teori Merkantilisme, adalah suatu paradigma ekonomi yang menegaskan pentingnya swasembada melalui penciptaan keseimbangan perdagangan yang menguntungkan. Teori ini menyoroti kebijakan ekonomi yang berupaya mengumpulkan kekayaan dan sumber daya, sekaligus menjaga keseimbangan perdagangan yang menguntungkan dengan negara-negara mitra. Dengan strategi untuk memaksimalkan ekspor sambil membatasi impor, Merkantilisme dilihat sebagai bentuk proteksionisme ekonomi yang bertujuan untuk melindungi sektor industri dalam negeri dari persaingan asing dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang mandiri. Pendekatan ini menempatkan negara sebagai aktor sentral yang memiliki peran besar dalam mengatur dan mengendalikan aktivitas ekonomi demi kepentingan nasional.
Selain menerapkan kebijakan proteksionisme yang bersifat klasik, evolusi teori Merkantilisme menuju pada pandangan baru, yang dikenal sebagai Modern Mercantilism. Dalam konteks ini, kebijakan Merkantilisme modern tidak hanya melibatkan upaya perlindungan terhadap industri dalam negeri, tetapi juga mencakup strategi yang lebih luas dan kompleks. Strategi tersebut meliputi pemberian tarif dan subsidi kepada industri dalam negeri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik, devaluasi mata uang domestik untuk meningkatkan daya saing ekspor, serta pembatasan migrasi tenaga kerja asing untuk menjaga pasar tenaga kerja dalam negeri. Pendekatan modern ini mencerminkan adaptasi terhadap perubahan dinamika ekonomi global yang semakin kompleks, di mana intervensi pemerintah menjadi penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan melindungi kepentingan ekonomi dalam negeri dari dampak negatif globalisasi.
Selanjutnya ialah konsep ketiga sekaligus terakhir yang terdapat pada teori Merkantilisme. Dalam konsep ketiga ini Merkantilisme mengungkapkan gagasan bahwa kekayaan suatu negara diukur berdasarkan cadangan emas dan peraknya, hal ini menggambarkan pandangan tradisional tentang kekuatan ekonomi. Ke berlimpahan logam mulia dianggap sebagai indikator utama kemakmuran sebuah negara, yang mendorong strategi akumulasi emas dan perak sebagai tujuan utama kebijakan ekonomi. Namun, dalam era modern yang ditandai oleh kompleksitas ekonomi global, penilaian semacam itu telah mendapat kritik tajam. Hal ini disebabkan oleh pengakuan bahwa faktor-faktor seperti teknologi, inovasi, sumber daya manusia yang terdidik, dan investasi lintas sektor juga memainkan peran penting dalam menentukan daya saing dan keberlanjutan ekonomi suatu negara. Meskipun demikian, konsep tradisional kekayaan negara yang didasarkan pada logam mulia tetap menjadi bagian penting dari sejarah dan pemikiran ekonomi. Ini memberikan wawasan tentang evolusi pandangan tentang nilai ekonomi, sementara juga menggambarkan pentingnya mengadaptasi pemikiran tersebut dalam konteks perkembangan global yang terus berlanjut. Demikianlah ketiga pandangan teori Merkantilisme dalam menganalisa suatu perekonomian negara.
5 Ide Dasar dalam Penerapan Teori Merkantilisme dalam Ilmu EkonomiÂ
Selain ketiga bentuk definisi yang telah disebutkan sebelumnya, Merkantilisme juga turut mengusung lima ide dasar yang memperkuat landasannya. Ide pertama, yang menjadi fokus utama, adalah strategi membangun koloni guna mengamankan sumber daya alam yang esensial bagi negara inti. Pandangan Merkantilisme melihat koloni ialah sebagai tambang sumber daya yang dapat dieksploitasi untuk memperkuat ekonomi negara induk. Selain sebagai penyedia sumber daya alam, koloni juga berperan sebagai pasar bagi produk-produk manufaktur dalam negeri, yang meningkatkan volume ekspor dan menciptakan keuntungan tambahan bagi negara merkantilis. Pendekatan ini mencerminkan strategi ekspansi ekonomi yang diarahkan untuk meningkatkan kekayaan negara melalui penguasaan sumber daya dan ekspor barang hasil produksinya.
Selanjutnya, konteks ide dasar yang kedua dalam Merkantilisme ialah prinsip bahwa pengendalian dan regulasi perdagangan Internasional merupakan fondasi utama bagi kemajuan ekonomi suatu negara. Para pemikir mercantilism percaya bahwa negara harus memiliki wewenang mutlak untuk mengontrol arus perdagangan baik dalam skala impor maupun ekspor. Dengan melakukan pengaturan perdagangan ini, negara berupaya memastikan bahwa jumlah barang yang diekspor melebihi jumlah barang yang diimpor, sehingga tercipta surplus perdagangan yang menguntungkan. Pentingnya menciptakan surplus perdagangan dipandang sebagai langkah strategis karena melalui surplus tersebut, negara dapat mengakumulasi lebih banyak emas dan perak, yang pada masa itu dianggap sebagai sumber kekayaan utama suatu negara. Dengan mengontrol arus perdagangan Internasional yang sedang berlangsung tersebut, maka secara tidak kontan nantinya negara dapat memperkuat fondasi ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui akumulasi kekayaan.
Selain membangun ekonomi dan mengatur perdagangan Internasional, bentuk Ide Dasar Merkantilisme yang ketiga ialah mengekspor bahan mentah dan sumber daya dari koloni ke Mouther Country atau negara induk. Pendekatan ini menekankan bahwa koloni, sebagai sumber daya yang kaya akan bahan mentah dan sumber daya alam, harus dimanfaatkan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi negara inti. Proses eksploitasi ini bertujuan untuk meningkatkan produksi dan kekayaan negara induk dengan memperluas basis produksi dan memperkuat perekonomiannya. Sementara itu, koloni sering kali dibiarkan dalam kondisi eksploitasi dan ketergantungan, di mana mereka menjadi subjek yang pasif dalam sistem ekonomi yang diatur oleh negara induk. Pendekatan ini mencerminkan strategi negara induk untuk memperoleh keuntungan maksimal dari kepemilikan koloni, sambil memperkuat posisinya dalam perekonomian global pada masa itu, dengan mengorbankan kemandirian dan kesejahteraan koloni tersebut.