Siapa yang tidak mengenal dongeng populer asal sumatera barat itu? tentu saja sebagian besar dari kita tumbuh besar dengan dihantui oleh plot malin kundang ketika berubah  menjadi batu karena durhaka kepada sang ibunda.Â
Sosok malin kundang senantiasa mengingatkan kita untuk selalu menghargai ibu, menjadikan ibu sebagai sosok yang harus dipatuhi segala perintahnya.
Ada begitu banyak cerita inspiratif tentang anak yang berbakti kepada orangtua, dan juga apa saja akibat jika durhaka kepada orangtua. Tapi penulis pribadi belum pernah mendengar cerita dongeng atau film tentang orangtua yang durhaka kepada anak-anaknya. Ini adalah garis besar yang ingin penulis bahas dalam tulisan ini.
Mengapa pemikiran ini muncul?
Pada artikel sebelumnya yang berjudul Menyurati para ayah, penulis mendapatkan fakta bahwa 47% anak laki-laki dan 35% anak perempuan yang belum berusia 18 tahun di Indonesia masih mengalami kekerasan dalam rumah tangga, meski kasus anak durhaka kerap kita temukan di berbagai platform di sosial media, tetapi data kekerasan anak terhadap orangtua tidak ada di dalam database manapun. Meski begitu kita akan tetap menemukan banyak berita ketika mencari kata kunci yang terkait.
Alasan berikutnya adalah rekan-rekan penulis kerap bercerita tentang kesehariannya ketika menghadapi konflik dirumah dengan orangtua, baik itu ibu maupun ayah.Â
Diantara keluhannya seperti "Kenapa ya orangtuaku kalau marah suka ungkit-ungkit pemberiannya?", "Kenapa ya orangtuaku suka umbar aib anak-anaknya?", "Kenapa ya orangtuaku suka marah-marah kepadaku karena kesalahan orang lain?", "Kenapa orangtuaku menelantarkanku?".
Anak-anak mencoba berbakti seperti yang diperagakan di dalam serial televisi, tetapi pada kenyataannya berbakti saja tidak cukup, beberapa anak akan dihadapkan dengan kondisi rumah tangga yang kurang harmonis bahkan runyam.Â
Sedangkan, anak-anak tidak mengetahui bagaimana menghadapi konflik rumah tangga yang berujung menjadi objek pelampiasan amarah orangtua.
Kenapa orangtua selalu benar?
Setelah dimarahi tanpa alasan, anak-anak berpikir "apa salah saya?" yang membuat logika seolah-olah "kenapa orangtua selalu benar?" Lu'Luil Maknum dalam jurnal yang berjudul kekerasan terhadap anak yang dilakukan orangtua (child abuse) mengatakan bahwa orangtua mampu memaksakan kehendak, menciptakan rasa takut, merampas kebutuhan anak sehingga berakibat pada psikis anak.
Ungkapan seperti "ibu dan ayah sudah lebih dulu merasakan asam dan garam hidup, kamu masih kecil dan tidak tahu apa-apa, turuti saja apa kata kami" seperti itulah jurus pamungkas yang kerap terlontar, padahal kita harus tahu bahwa setiap manusia terlahir pada zaman yang berbeda, dan kondisi yang berbeda, meskipun beberapa trek hidup akan terasa sama.
Parental produced stress atau orangtua yang memiliki gangguan kejiwaan , tekanan mental, atau kekerasan pada masa lalu berpotensi besar memberikan perlakuan keras terhadap anak, mata rantai ini lah yang harus diputus untuk memerangi kasus-kasus yang ada. Masing-masing orangtua abusif dan anak yang menjadi korban, keduanya membutuhkan bantuan psikologis.
Apa yang bisa dilakukan para anak?
Ada sebuah postingan menarik dari akun instagram @hasanaska_ri tentang scapegoat (kambing hitam kesayangan keluarga), dimana seorang anak yang selalu menjadi penyebab dari segala malapetaka yang hadir di dalam keluarga dan ia senantiasa menjadi orang yang 'disalahkan' walau itu bukan kesalahannya.
Menjadi seorang scapegoat pastilah sangat melelahkan, tidak ada istilah home sweet home, karena rumah lebih terasa seperti neraka dimana ia akan selalu mencari hal-hal yang dapat dilakukan selain pulang kerumah, terdengar ironi tetapi itulah yang terjadi. Karakter anak yang menjadi scapegoat akan terbunuh sampai otaknya beranggapan bahwa ialah penyebab dari semua kesalahan, padahal tidak sama sekali.
Setelah dewasa, berusahalah untuk berdamai dengan keadaan dan fokuslah untuk menyembuhkan luka-luka batin selama menjadi scapegoat. Dari laman psycentral.com, artikel berjudul The Scapegoat Child : Effect and Lasting Pains menyebutkan langkah-langkah untuk memulihkan dampak psikologis dengan :
- Merenungi dan memahami bahwa segalanya bisa saja terjadi
- Pembicaraan kecil dengan diri sendiri dengan kesadaran
- Membangun ulang kecerdasan emosinal
- Membuat ikatan emosional
Tidak ada orangtua yang menginginkan anak yang durhaka, begitu juga sebaliknya. Yang perlu kita ketahui bersama adalah hak orangtua dan hak anak hendaknya seimbang, bukan berat sebelah hanya sebuah kisah fiksi, hanya karena sebuah cerita memiliki pesan moral yang tinggi, bukan berarti itu merupakan acuan kebenaran mutlak.
Semoga mewakili pihak-pihak terkait, salam hangat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H