Mohon tunggu...
Agung Pratama
Agung Pratama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Pegiat isu sosial, politik, gender, dan media. netizen barbar tapi kritis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Menjauhi Sikap Self-Sentris

3 Januari 2022   07:00 Diperbarui: 26 April 2022   23:16 4589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini kita seringkali dihadapkan dengan situasi dimana kita akan merasa begitu membutuhkan saran dari seseorang sahabat karib atau seseorang yang sangat dipercaya, tetapi yang terjadi malah kita memikul dua kali lipat beban pikiran karena cara kita menyikapi masalah malah dianggap salah oleh lawan bicara. 

Sebelum membahas ini, sebaiknya kita ulas secara singkat dahulu mengenai self-sentris. 

Jika mencoba menelusuri istilah self-sentris pada mesin pencari google, maka kata yang terdeteksi adalah self centered, yang dimaknai oleh kompasianer Darul Azis sepadan dengan egosentrisme, yang berarti seseorang ingin menjadi pusat perhatian atas apa yang ia lakukan/katakan. 

Namun yang penulis maksudkan bukanlah demikian, self-sentris yang penulis maksud adalah perilaku yang dirinya beranggapan bahwa apa yang ia ketahui dan lakukan adalah hal yang paling benar dan merasa menjadi model role dalam merespon sebuah masalah. 

Hummingbird604 dalam urban dictionary mengatakan  "Someone who clearly believes that the world spins around him/her. It's not the same as ego-centric or self-centered, because the self-centric person is not full of him or herself. He or she only believes that everything in the world has to do with him or her."  

Untuk lebih mudah dimengerti, mari kita ambil sebuah contoh kasus, suatu ketika di sebuah platform sosial media terdapat ramai argumen di sebuah lapak yang sedang membahas tentang prosesi pemakaman jenazah, ada beberapa cuitan yang menjadi sorotan kurang lebih seperti ini, "Bukankah setelah kematian manusia masih merasakan sakit? mengapa tidak dikebumikan saja?", "Foto jenazah kan tidak boleh disebarluaskan, di keluarga kami kalau ada yang meniggal tidak pernah ada tindakan seperti itu".

Contoh selanjutnya pada lapak yang sedang membahas perilaku abusive orangtua terhadap anak, salah satu cuitan berbunyi "Kenapa harus menyalahkan orangtua kalau anak sering dipukul? gak mungkin anak dipukul tanpa sebab, lagian setiap orangtua pasti ngurusin anaknya lah".

Dari kedua contoh di atas kita dapat melihat sebuah perilaku yang sama, yakni seseorang yang berpikir bahwa apa yang mereka ketahui adalah satu-satunya kebenaran yang tidak terbantah, secara tidak langsung memiliki kesan "aku adalah role model, jadi contohlah aku beserta pengetahuan yang aku miliki". 

Sedangkan beberapa dari kita menyadari bahwa banyak hal di dunia ini dapat terjadi, karena masalah di dunia tidak berhenti dengan teori-teori yang berkembang, banyak hal-hal tak terduga diluar hipotesis manusia.

"Gunakan sudut pandang berbeda. Lihat dari sudut pandang orang lain. Semakin lama Xixi merenung, rasanya semakin banyak hal yang tidak diketahuinya.-Tria Barmawi"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun