Sebelum mengonsumsi Film Joker dari Warner Bros, Saya pernah menonton film desolasi dan split, namun kali ini  yang membedakan dari kedua film yang ditonton, film ini menyuguhkan peran Joaquin Phoenix  sebagai seorang yang terkena Pseudobulbar Syndrome, sebuah sindrom yang hanya bisa mengekspresikan tawa. Orang-orang awam akan menganggap film ini aneh karena menonjolkan peran gangguan kejiwaan secara rinci dan masif, ini bukanlah tontonan yang berisi adegan komedi, melainkan ironi dari seorang joker (pelawak).
Dalam ceritanya, sosok Joker hidup dibesarkan oleh oleh seorang ibu angkat yang juga merupakan seorang yang juga mengidap mental illness, masa kecil yang terus disiksa, dipojokkan, dan seolah ditiadakan membuat Arthur Fleck (Joker) menderita tekanan kejiwaan yang luar biasa. Arthur yang hanya bisa mengekspresikan tawa berambisi utuk menjadi seorang komedian, namun kandas karena tidak satupun melihatnya sebagai objek penghibur, melainkan objek perundungan. tidak hanya sampai disitu, orang yang paling yang paling diidolakan olehnya pun ikut mengolok-oloknya di hadapan publik.
Di tulisan ini saya tidak terlalu banyak mengulas mengenai film Joker, melainkan relasinya dengan kehidupan nyata, ketika melihat sekeliling dan sekitar, ada banyak sekali kasus yang dipresentasikan oleh Joker. Depresi, diskriminasi, dan perundungan kerap terjadi di lingkungan sosial kita. Ini tidak bisa dianggap sebagai masalah yang enteng, anak-anak yang tumbuh besar dengan tekanan kejiwaan yang berkelanjutan akan membentuk kepribadian yang rapuh, anti sosial, dan luka batin yang membekas.
Mengapa seseorang menjadi penindas?
dalam proses tumbuh kembang anak, figur orangtua dalam memperlakukan anak amatlah berpengaruh baginya untuk memperlakukan orang-orang sekitar. Dalam jurnal Ela Zain Zakiyah, dkk dari Universitas Padjajaran disebutkan, orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stress, agresi, dan permusuhan. Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya.
Kerenggangan pengawasan juga menyebabkan pelaku bully bertindak semaunya tanpa khawatir dengan aturan moral yang harusnya dipatuhi. Kita bisa melihat ini di lingkungan sekolah, tidak banyak sekolah yang meminimalisir tindak bullying sehingga wajar saja jika aksi bullying merebak di lingkungan sekolah.
Dampak bagi korban penindasan
Sebagian besar dari korban akan merasa stres, takut, menarik diri dari ruang publik dan  bunuh diri pun tidak dapat terelakkan. namun sebagiannya lagi, seperti yang ditayangkan pada film Joker, kondisi kejiwaan korban malah bergeser untuk menjadi seorang penindas pula, dan ini bukanlah hal baru. Di Indonesia sendiri pernah terjadi seorang Remaja di Bali nekat bunuh temannya karena sering dibully, dan ini hendaknya tidak terjadi lagi di tengah masyarakat kita.
Luka batin yang membekas adalah hal yang paling pasti diderita oleh setiap korban, korban akan mengingat setiap kejadian penindasan bahkan sampai ke alam bawah sadar sampai-sampai luka itu menumpuk dan mengganggu pola hidup seseorang yang seharusnya tertata rapi. sehingga beberapa orang  membutuhkan terapis untuk menyembuhkannya.
Sebuah pesan dari saya, Jangan pernah menjadi jahat, karena semua orang akan tahu kalau anda tidak pernah merasa benar-benar bahagia.
Orang jahat lahir dari masa lalu yang tidak bahagia -(Dedy Susanto)-
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H