Sekayu, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, 20 Juli 2019
Kemarin, Seorang pria paruh baya tampak tersenyum melihat pemuda yang 3 tahun belakangan ini mencicipi kehidupan kota tiba-tiba dengan gontai berjalan menuju ladang dengan rambut coklat mengkilap dan ekspresi tersenyum malu lantaran belakangan ini sudah terlalu sombong dengan 'rumah' sendiri, tempat pemuda ini dibesarkan.
"Bagaimana kabarmu? rupanya kamu tidak tersesat setelah pulang kembali" ujarnya dan dilanjutkan dengan tertawaan geli. Tidak terlalu banyak yang berubah, hanya saja diujung ladang tampak sebuah villa yang baru kuketahui keberadaannya. "Itu salah satu sumber masalah bagi kami, kala hujan biasanya air akan menggenangi seluruh sawah, tapi semenjak keberadaan villa air semuanya lari kesana, sebab disana lebih rendah" sambungnya.
Dalam setahun mereka hanya bisa memanen padi satu kali, meskipun jenis padi yang ditanam adalah padi 4 bulan. "Rencananya ada program dari kelompok tani bakal dibuat irigasi, jadi nanti proses perairan tidak sulit lagi" imbuhnya.Â
"Usia padi ini baru 1 bulan, sedih lihat tanah udah mulai retak-retak, belum lagi hama, kalo bisa besok hujan lah.." ucap beliau saat ditanyai mengenai usia padi, sepetak lahan ukuran 50x50 meter dijejeri oleh tanaman padi yang sudah setinggi lebih kurang 60 cm.Â
Hujan mengguyur desaku pagi ini berkat do'a seorang petani padi yang kutemui kemarin sore, Setiap tetesnya memperbaiki tekstur tanah yang sebelumnya kering merekah-rekah membuat daun padi mulai menguning. Pak Rohim pasti amat bersyukur setelah mengetahui do'anya terkabul, mengingat raut wajahnya yang kelelahan setelah menjaring ikan bersama ketiga anaknya yang masih belia.
Sebagian besar pemilik lahan padi lebih memilih untuk tinggal ditengah sawah, tanpa listrik, jaringan, apalagi internet. Gaya hidup yang bahkan tidak tercemar ini mereka tetap bahagia, dan itu semua tercermin di muka anak-anak Pak Rohim yang dengan bahagianya menangkap ikan ditengah kubangan air surut ditengah lahan sawah.
Budaya modern menyapu habis budaya lokal termasuk di titik sentral desa, saya beruntung masih bisa menemukan anak-anak yang masih kegirangan bermain di lingkungan persawahan. Saya harus mendekati lahan pertanian dulu baru bisa menyaksikan anak-anak menjaring ikan, sisanya berlagak centil sambil menggenggam Handphone di jalanan.
Saya juga mendapati teman-teman sebaya yang dulu kerap kelayapan sama-sama sekarang sudah sangat malu-malu bahkan hanya untuk tegur sapa, beberapa dari mereka putus sekolah, menikah usia dini, tidak bekerja, berjudi, dan lain-lain.Â
Mengapa teman-teman menjadi seperti ini? gerutu saya dalam hati, kendati demikian jika ditilik secara seksama mindset demografi masyarakat desa memang harus dikembangkan.Â
Ingin rasanya memberdayakan segala sumber daya yang ada, dan saya harus menjadi orang yang tepat menjadi penggerak perubahan bagi desa saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H