Pascamodern tengah dirasakan oleh seluruh populasi di muka bumi, pemukiman yang kumuh, rawa-rawa, bahkan hutan telah direvolusi menjadi surga bagi kapitalis yang berkuasa di tanah nusantara dari penjuru ke penjuru.Â
Petak demi petak tanah disulap menjadi kotak kaca berpondasi batu menjulang tinggi, namun ini hanya di bagian sentral pemukiman kota, jika kita bergerak menepi keadaan sontak menjadi kontradiktif, perumahan yang kumuh, pencemaran lingkungan, dan tunawisma merajalela di sudut-sudut kota.
Tanah subur yang seharusnya memberi kehidupan bagi siapapun yang berpijak diatasnya, namun kali ini hanya menjadi tempat bagi yang mampu menerbitkan surat tanah, Ibukota telah menjadi ibu tiri bagi orang-orang pinggiran, dan menjadi ibu kandung bagi orang-orang yang ber-uang.
Kenapa tanah air kita begitu kaya namun tidak mampu menghidupi semua orang di dalamnya? Apakah seharusnya kekuasaan itu ditiadakan saja? Agar tiada seorang pun yang mempunyai hak atas segala sesuatu di muka bumi? Bagaimana mungkin tanahku yang elok menghukum beberapa penghuninya?
Itulah yang ada di dalam pikiran penulis saat membayangkan betapa petaka nya sebuah kota, ruang publik yang berubah pesat dan menjadi sarang bagi manusia-manusia disosiatif. Ditengah kepadatan kota, pernahkah kita menyadari bahwasanya antara satu dengan yang lain saling mengenal?Â
Bisa kita rasakan bagaimana saat kita mencari alamat selalu disuguhkan dengan jawaban "saya tidak tahu, saya bukan asli orang sini". Urbanisasi telah menciptakan sebuah budaya apatis yang sangat tinggi, sehingga menjadikan setiap orang adalah orang asing di tempat sendiri.
Penulis selaku mahasiswa juga merasakan dinamika penduduk kota yang luar biasa pengaruhnya terhadap orang-orang urban baru, contoh nyatanya adalah ketika penulis sudah berada di lingkungan kota, bergaul dengan orang-orangnya, dan mulai menganut budayanya, semua tabiat asal pun berubah.Â
Orang yang sebelumnya tidak terbiasa dengan brand-brand kapital, saat menyesuaikan dengan keadaan ia malah menjadi pecandu ideologi kapitalis itu sendiri.
Seperti apa buktinya? Orang yang terbiasa berbelanja di pasar tradisional, memakan jajanan warung, memasak makanan sendiri, berpakaian sopan seadanya, menggunakan produk lokal, dan bergaul dengan teman-teman sebaya di ruang terbuka kini berubah total.
 Mal telah menggeser ekonomi lokal dengan melahirkan manusia konsumerisme dan membuat mereka lebih berbangga membeli produk junkfood, berjalan gontai di lantai mal sambil menikmati es krim, lebih memilih pakaian-pakaian branded, dan menjadikan mal sebagai tempat rekreasi.
Kemunafikan gaya hidup adalah jalan pintas agar mampu menyamakan status sosial antar satu dengan yang lain, prinsip masyarakat urban adalah "mau ada uang atau tidak, saya harus hidup dengan gaya orang kota" melalui prinsip seperti ini kita tidak heran lagi apabila orang-orang dengan status ekonomi menengah kebawah rela mati-matian untuk memoles diri dengan gaya hidup mal dengan budget terbatas, sehingga kita tidak benar-benar tahu apakah orang-orang yang berlalu lalang di dalam mal adalah mereka si kaya.
Mal dan fasilitas kota yang modern dan maju, apakah ini memanjakan atau mengancam? Saya rasa ini adalah benar keduanya. Kenapa memanjakan? Penduduk kota tentu saja menginginkan segala sesuatu yang bagus, aman nan nyaman, dan itu dimiliki oleh mal. Kenapa mengancam? Seperti halnya hukum alam, yang kuat akan bertahan, begitu juga penduduk kota.Â
Penduduk asli yang memiliki status ekonomi dibawah rata-rata akan tersapu ke pinggiran oleh orang-orang kapitalis. Dan tentunya si kaya semakin kaya, si miskin semakin miskin.
Inilah budaya yang tidak akan hilang meski akan melalui peradaban yang panjang. Hal ini harus kita sadari mengingat persaingan hidup di masa yang akan datang jauh lebih ketat, dan lagi lagi manusia kembali dijajah oleh pemikiran dan ego manusia sendiri.
Semoga Bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H