Kota adalah rumah besar. Tempat nasib disandarkan, dan semua cita-cita digantungkan. Setiap kota punya sejarah, lebih kecilnya sejarah kita tinggal di sana. Entah karena kita dilahirkan saja, dibesarkan, atau melanjutkan sisa hidup. Apa pun status itu, kota sangat penting dalam menentukan nasib sekarang dan masa depan.
Tradisi urbanisasi menjadikan kota begitu heterogen penduduknya. Semua orang dari berbagai latar belakang boleh pindah, menetap bahkan sampai beranak-cucu. Tapi apakah kota yang sekarang kita tinggali adalah kota yang kita impikan? Kota yang akan mengubah nasib hidup kita? Atau hanya tempat singgah setelah terombang-ambing ke sana ke sini?
Banyak sekali jawaban dari pertanyaan itu, karena kembali ke motivasi seseorang mendiami suatu kota.
Jogjakarta misalnya, adalah salah satu kota dengan tingkat urbanisasi tinggi. 60% penduduk kotanya berasal dari luar wilayah. Mayoritas mereka dulunya adalah pelajar, mahasiswa yang berniat menuntut ilmu, karena kota ini dikenal sebagai kota pendidikan.
Dilihat dari traffic masuk dan keluar penduduknya, kelihatannya Jogja tidak seimbang. Eksodus masuk setiap tahun lebih tinggi dibanding keluarnya. Akibatnya, hunian semakin padat, jalan macet, keamanan semakin tidak terjaga dan banyak lagi faktor negatif dari adanya perpindahan masyarakat setiap tahun ini.
Percepatan pertumbuhan penduduk kota ini begitu pesat, diikuti oleh pertumbuhan teknologi dan ekonomi. Semua sektor ekonomi bergerak signifikan maju. Pariwisata semakin digalakkan. Begitu juga dengan teknologi, Jogjakarta adalah salah satu kota dengan inkubator start up paling banyak. Alasannya, selain biaya operasional murah, akses gampang, juga tersedianya tenaga kerja yang berkompetensi.
Melihat lebih dekat lagi, sebetulnya kota semacam ini adalah tempat yang tepat untuk memberantas pengangguran yang belakangan ini menjadi momok pemerintah. Di tengah perkembangan infrastruktur dan fasilitas yang dibangun, seharusnya mampu menyerap tenaga kerja. Belum lagi iklim usaha yang makin hari makin membaik, akan menjadi tempat yang tepat untuk berwirausaha. Iklim positif itu ditandai dengan banyaknya ekspatriat yang berbondong-bondong membangun start up di kota indah ini.
Tapi kenapa banyak yang merasa Jogjakarta adalah kota stagnan?
Kondisi di atas, ternyata tidak membawa dampak positif bagi semua kalangan, terutama fresh graduate yang baru saja diwisuda di perguruan tinggi. Angka pengangguran Kota Jogja semakin hari relatif naik. Tribun Jogja, pada 2015 menyebutkan bahwa dari 100 orang, ada 4 orang pengangguran, karena TPT-nya mencapai 4,07%.
Anggapan Jogja sebagai kota stagnan itu dirasakan oleh banyak penduduk Kota Gudeg ini. Sebagai Kota Pelajar, UMK Jogja memang belum mampu bersaing dengan kota besar lain. Saat ini UMK masing-masing kabupaten berkisar antara Rp1,2 juta sampai Rp1,4 juta. Jauh kan kalau dibanding Jakarta?
Bagi pekerja, gaji sebesar standar UMK tersebut masih jauh dari cukup. Kebutuhan operasional hidup di Jogja rata-rata setiap bulan membutuhkan lebih dari Rp3 juta. Kebutuhan ini tentu berbeda dengan UMK yang ditetapkan pemerintah. Kondisi inilah yang kemudian membuat pendatang muda Jogjakarta merasa tak relevan hidup di kota istimewa ini. Bagaimana mungkin penghasilan yang didapat lebih kecil dari pengeluaan belanja bulanan?
Alasan UMK rendah inilah yang membuat ekspelajar menpertanyakan relevansinya tinggal di kota kasultanan ini. Ada banyak sekali alasan yang membuat mereka berpikir lagi kalau harus berdiam dan meniti karier di Jogjakarta.Â
Solusinya pindah. Â Atau pulang ke rumah.Â
Tapi apakah semua perubahan itu adalah faktor dominan yang tak bisa disiasati oleh mereka-mereka (yang sebagian sudah sarjana) untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik? Apakah kemajuan ini memang menyingkirkan mereka hanya karena alasan upah minimal? Atau mereka sendiri yang gagal membuat relevansi baru?
Yogyakarta, Mei 2016. memulay.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H