Mohon tunggu...
Agung Prastowo
Agung Prastowo Mohon Tunggu... -

Aktif di Wisdom Indonesia - Banggain Daerahmu, Cintain Indonesiamu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Banyak Cara Memperbaiki Indonesia

21 Mei 2016   11:45 Diperbarui: 21 Mei 2016   12:18 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara ini sedang menanggung duka, dengan serangkai kejadian belakangan ini. Di berbagai media diberitakan isu- isu sadis, yang menggambarkan seperti kejadianya bukan di negeri damai bernama Indonesia.

Kisah- kisah yang memilukan itu: Pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, korupsi, narkoba, bencana, dan banyak lagi yang lain, Setiap jam diberitakan secara bergantian. Di Televisi, portal online dan media sosial.

Meskipun kejadian yang sama sudah ada sejak dahulu, tapi rasanya tak se memprihatinkan hari- hari ini.

Itu mengapa banyak pihak menyebutnya sebagai bencana- nasional.

Bencana nasional, terjadi tidak harus secara nasional. Misalnya kejadian di lokal tertentu, bisa jadi akan dikategorisasikan sebagai bencana nasional, dengan cakupan yang luas, yang dampaknya, rasa senasibnya, dirasakan oleh seluruh penghuni suatu negara.

Bencana ini bukan hanya yang disebabkan oleh alam, seperti gempa bumi, banjir bandang, kebakaran hutan atau erupsi, tapi termasuk bencana sosial. Bencana yang diakibatkan merosotnya moral suatu anak bangsa.

Membicarakan bencana sosial nasional secara lebih dalam, siapa pihak yang paling bertanggungjawab atas terjadinya hal itu? Apakah pelaku, korban, pemerintah sebagai pengayom dan pelindung, atau pemilik media massa yang terlalu santer memproduksi berita?

Beberapa waktu lalu, aku sempat diskusi kecil- kecilan dengan salah seorang teman di rumah. Waktu kutanya dari 4 faktor itu, mana yang paling dominan dan tepat untuk disalahkan, dia tak memilih kesemuanya.

Dia punya pendapat baru. Yang paling patut dipersalahkan, adalah Lingkungan, katanya.

“Karena misalnya contohnya kasus YY di Sumatera itu. Si pelaku diberitakan melakukan itu karena sering nonton film unyil, lalu kebetulan habis minum minuman keras. Apa kebiasaan nonton itu tidak dilakukan dengan anak- anak disini? Apa minum minum hanya dilakukan mereka saja disana? Tapi kenapa kejadian kemaren itu begitu teragis? Faktornya bukan kedua hal tadi, tapi Lingkungan“, katanya mendebat.

Dia tambahkan, bahwa kalau disamakan dengan pisau misalnya. Pisau bisa digunakan dimana saja oleh siapa saja. Bisa untuk mengupas buah, untuk mengiris bumbu, bisa juga untuk menusuk pacar sendiri. Pisau sangat ditentukan oleh siapa yang sedang ingin menggunakanya.

“Yang paling dominan dari faktor- faktor tadi adalah lingkungan. Kalau mau merubah keadaan, pertama kali ya dengan merubah lingkungan. Lingkungan yang kondusif akan menghasilkan tindakan- tindakan yang kondusif“, begitulah kira- kira dia memberi penguatan pendapatnya.

Aku setuju dengan pendapatnya.

Meskipun contoh yang dia kemukakan mungkin kurang tepat menurutku, tapi poin maksudknya aku bisa terima dengan baik. Dari lingkunganlah kita bisa memperbaiki hal- hal semacam itu. Dari lingkungan lah segala sesuatu bisa menjadi baik dan sebaliknya.

Sebagai orang biasa yang belum punya kelebihan, lalu apa yang kita bisa perbuat. Bukankah kejadian- kejadian diatas tadi sudah ada pihak- pihak yang bertanggungjawab? Bukankah pemerintah sudah punya banyak sekali bagian yang mengurusinya satu per satu? Kementerian, dinas- dinas, lembaga- lembaga cabangnya sampai ke ranting.

Tapi.

Kalau benar, pemerintah adalah satu- satunya pihak yang harus menyelesaikan masalah- masalah tadi, bukankah terlalu sulit? Karena urusanya adalah membuat lingkungan kita layak untuk ditempati orang- orang baik?

Bukankah lingkungan itu dimulai dari kita, siapa kita yang sekarang mendiami suatu tempat? Apakah kita sudah menjadi bagian dari aktor yang menjadikan lingkungan kita sendiri nyaman? Apalagi dengan banyak lingkungan yang lain, yang secara karakter masyarakatnya berbeda dari kita? Yang mungkin lebih keras, lebih unik, lebih tak peduli atau lebih susah diajak berkomunikasi?

Lalu darimana mereka akan belajar?

“Mereka akan belajar dari Kita! Dari kamu, dari aku”, katanya memberi penegasan.

Semakin banyak kamu, aku berbuat sesuatu, semakin membuka kemungkinan untuk membuat lingkungan kita berubah menjadi baik.

Itu pasti tak se mudah kita menulis begini, tidak. Itu pasti butuh kerja keras, dedikasi, totalitas, dan kerja sama. Sehebat apapun kamu, aku, kalau masih berjaung sendirian, semuanya terasa sulit untuk diwujudkan.

Tips ini memang klasik dan retro. Tapi sekarang memang jamannya. Segala sesuatu harus dikembalikan kepada nilai- nilai terdahulu. Meskipun menyangkut perkembangan zaman, teknologi, ilmu pengetahuan, nilai- nilai kearifan tetap tak boleh dihilangkan.

Banyak sekali cara memperbaiki bangsa kita Indonesia. Banyak sekali partisipasi yang kita bisa lakukan. Banyak sekali contoh yang bisa kita mulai berikan. Lingkungan adalah cerminan siapa kita, dampak dari bagaimana kita menjadi bagianya.

Dengan memastikan bahwa lingkungan sekitar kita kondusif, nyaman, dan layak untuk perkembangan sekian banyak kebaikan, kamu berarti sudah menjadi bagian dari pembangunan moral dan masa depan bangsa. Banyak sekali caranya untuk memperbaiki keadaan ini. Banyak cara memperbaiki Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun