Gadis cantik dengan rambut sebahu memberesi barang bawaannya. Tak berapa lama tas ransel sudah berada dipundaknya. Tangan kanan membawa tas berisi perlengkapan salat. Tangan kiri membawa kardus  yang tak begitu berat.
Langkahnya gontai turun dari bus Agra Mas yang membawanya dari Jakarta. Pikirannya masih kacau antara pulang atau tetap di Jakarta.
Kepulangan kali ini tidak dikehendakinya. Bapak Amir, orangtua nya memintanya untuk pulang karena dia harus menikah dengan lelaki pilihan bapaknya.
"Ratih ...," terdengar panggilan dari bapaknya yang menjemput di Terminal Tirtonadi Solo.
Â
Gadis berperawakan tinggi langsing tersebut mendatangi arah suara panggilan. Dia bergegas memasukkan barang bawaannya ke mobil yang disewa bapaknya.
Perjalanan dari Terminal Tirtonadi menuju rumahnya nampak hening. Tak banyak percakapan antara bapak dan anak tersebut.
**
Arya bergegas ke rumah Ratih, karena hari ini dia baru datang dari Jakarta. Setelah mengganti pakaiannya, anak sulung Pak Karto itu berjalan ke rumah Ratih. Jarak rumahnya cukup dekat, sehingga Arya hanya berjalan kaki.
Langkah Arya begitu cepat, sehingga hanya beberapa menit sudah sampai di rumah Ratih.
Mereka adalah sepasang kekasih. Cinta bersemi saat Ratih duduk di kelas tiga SMP, sedangkan Arya sudah duduk di kelas tiga SMA.
Setelah berlangsung enam tahun, hubungan mereka terpisahkan tempat dan waktu. Arya tinggal di Kota Solo. Ratih merantau ke Jakarta. Cinta mereka diuji oleh jarak yang begitu jauh.
"Mas, sini masuk." Ratih membuka pintu. Tangan Ratih cepat menarik Arya untuk masuk.
Arya yang sedari tadi terpaku di depan pintu mengikuti ajakan Ratih.
"Ratih, datang, kok, nggak ngabari aku." Tangan Arya menarik kursi dan duduk di sebelah Ratih.
Ratih gadis dengan cantik, muka bulat, rambut pendek itu memandang tajam lelaki didepannya. Tak sanggup dia mengatakan yang sesungguhnya. Mulutnya terkunci rapat. Namun Ratih tak tega menyakiti hati Arya, sosok lelaki yang sudah menjalin hubungan cinta selama enam tahun.
"Aku, kan, mendadak pulangnya, Mas!" Tangan Ratih menyodorkan undangan pernikahan.
"Ini, apa-apaan Ratih? Kau mengundangku datang hanya untuk memberikan ini!" Undangan di tangan Arya dibantingnya.
"Sabar, Mas. Semua ini kehendak bapakku," jelas Ratih yang berusaha untuk meredakan kemarahan Arya.
Muka Arya memerah. Dia ingin meninggalkan rumah Ratih. Arya tidak menduga dengan kenyataan ini. Namun, Ratih meminta agar Arya mendengar penjelasan bapaknya.
"Aku pulang saja!" Arya melangkah ingin keluar dari rumah Ratih. Sebagai lelaki yang sudah mencintai Ratih lama, dia tak sanggup dengan kejadian ini.
"Tunggu, Nak!" Suara Pak Amir, menghentikan langkah  Arya.
"Masuk dulu, duduk dulu, tenangkan pikiranmu," bujuk Pak Amir.
Arya kembali melangkah masuk ke rumah dan dengan terpaksa duduk mendengarkan Pak Amir berbicara. Setelah mendapat penjelasan dari pak Amir, Arya dengan hati terpaksa menerima kenyataan pahit ini. Akhirnya dia melangkah untuk meninggalkan rumah Ratih.
Wonogiri/2 September 2022
Agung Pramono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H