Mohon tunggu...
Agung Prakoso
Agung Prakoso Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pemilu, Masihkah Luber dan Jurdil?

28 Agustus 2016   22:18 Diperbarui: 29 Agustus 2016   08:54 6423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Masih ingatkah kalian dengan asas-asas Pemilihan Umum (Pemilu) yang sering diajarkan guru saat kita duduk di bangku sekolah dasar? Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat 1, "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali". Itulah yang menjadi asas-asas pelaksanaan pemilu yang kemudian disingkat Luber dan Jurdil. Pemilu seringkali dijadikan tolak ukur kesuksesan negara dengan sistem demokrasi seperti Indonesia. 

Lantas apakah Indonesia telah melaksanakan pemilu dengan baik berdasarkan asas-asas diatas?

Di negara demokrasi seperti Indonesia, pemilu menjadi ajang yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Layaknya pesta, pemilu sering disebut sebagai “Pesta Demokrasi”. Bagaimana tidak, saat pemilu ekonomi kerakyatan terutama di sektor usaha kecil menggeliat, spanduk dan poster menghiasi kiri-kanan jalan, walau terkadang mengganggu keindahan namun inilah cerminan dari pesta demokrasi.

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 22E ayat 5, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”, yang kemudian dibentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU ringkasnya menjadi penyelenggara pemilu. Pemilu ditujukan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan juga memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu juga diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang megawasi serta bertindak tegas jika ada kecurangan dalam pelaksanaan pemilu.

Bagaimana dengan Pelaksanaannya?

Aturan sudah jelas, penyelenggara sudah dibentuk secara independen begitu juga pengawas,  bahkan sanksi yang tegas juga sudah tertuang didalam Undang-undang, namun realita dilapangan tidak selalu berjalan mulus. Masa depan lima tahun tergadai oleh sejumlah uang, orang-orang sering menyebutnya money politic. Kegiatan money politic sangatlah “Berbahaya”. 

Para calon legislatif tak segan-segan merogoh kocek hingga Rp.200.000 per suara. Artinya modal yang dikeluarkan oleh calon sangatlah besar, bisa mencapai milyaran. Dengan gaji belasan juta dalam lima tahun, bagaimana agar para wakil rakyat ini mengembalikan modal kampanye plus money politic mereka? Kita semua bisa dengan mudah menebaknya.

Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Korupsi Politik, Donal Fariz, mengatakan, ditemukan 36 kasus kecurangan di provinsi Banten, lalu ada Riau dan Bengkulu dengan masing-masing temuan sebanyak 31 kasus, Sumatera Barat 30 kasus, dan Sumatera Utara sebanyak 29 kasus. Donal menuturkan, pelaksanaan pemilu di Banten semakin memprihatinkan karena bukan hanya banyak kecurangan, melainkan juga harga dari kecurangan itu sangat rendah. 

Selama pemantauan, ditemukan praktik politik uang senilai Rp 5.000 sampai Rp 25.000 di daerah tersebut. Terbayangkah oleh anda bagaimana praktik kecurangan begitu mudah terjadi. Banyak yang meyakini temuan ICW belum benar-benar lengkap, jika mau dirunut hingga ke akar, masih banyak praktik kecurangan yang terjadi, terlebih di wilayah yang terpencil, sehingga jauh dari pengawasan.

Mengenai kecurangan ini, KPU sering kali berkelit, sebab mereka hanyalah penyelenggara. Lalu bagaimanakah dengan Bawaslu? Tidak bisa dipungkiri, dengan jumlah anggota yang sangat terbatas, ditambah lagi praktik money politic yang dilakukan dengan “rapi”, sangatlah sulit bagi Bawaslu untuk mengungkap praktik ini. Pengaduan dari masyarakatpun seringkali tidak memiliki bukti yang konkrit, sehingga pengaduan seringkali “Jalan ditempat”. akibat tidak adanya bukti yang konkrit ini lah, peserta pemilu masih bisa survive dari segala macam tuduhan money politic.

Lalu siapa yang salah?

Pertanyaannya, siapakah yang salah? Aturannya? Sistemnya? Penyelenggara dan pengawasnya? Atau pesertanya? Yang paling bersalah adalah yang menerima uangnya, yakni masyarakat atau calon pemilih. Mau bagaimanapun calon anggota legislatif terjebak oleh keadaan yang akan menjatuhkan mereka pada kekalahan apabila tidak memberikan sejumlah imbalan atas suara yang diberikan dan masyarakatlah yang benar-benar turut andil dalam kondisi tersebut. 

Terkadang faktor ekonomi menjadi alasan utama bagi mereka, namun tak sepantasnya menggadaikan lima tahun mereka, demi sejumlah uang yang bahkan bisa habis dalam hitungan hari. Tidak jarang mereka memegang prinsip, "Pilih siapa yang paling banyak memberi". Alhasil mereka memilih orang yang kaya, bukan yang berdaya. 

Masyarakat yang demikian biasanya bukan hanya terjebak oleh kesulitan ekonomi namun juga kurang pemahaman dan edukasi, mereka sering tidak menyadari bahwa pilihan mereka pada saat dibilik suara akan menentukan nasib mereka lima tahun yang akan datang. Menjadi tugas pemerintah dan kita semua untuk mengedukasi masyarakat agar tidak jatuh kedalam pilihan yang salah hanya karena sejumlah dana. Pengawasan, tindakan, serta sanksi yang tegas untuk para calon legislatif yang bertindak curang juga harus terwujud. Sebagai bukti nyata Reformasi, Pemilu harus tetap dalam asasnya, yakni “Luber dan Jurdil” 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun