Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Gembok Awan dan Pagar Laut, Ide Kreatif yang Kelewat Batas

17 Januari 2025   21:35 Diperbarui: 17 Januari 2025   21:35 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kadang, pagar laut bukan hanya menahan abrasi, tapi juga menguji logika kita. Jangan biarkan ide konyol jadi pembatas mimpi besar kita."

Di sebuah desa pesisir, pagi itu terasa berbeda. Bukan karena matahari terbit dari arah barat, tapi karena sebuah pagar dari kayu damar laut yang kini memanjang di sepanjang garis pantai. Pagar laut! "Mungkin ini filosofi baru," pikir seorang nelayan tua, "bahwa kebebasan alam ternyata hanya sebatas garis biaya."

Diperkirakan, biaya pagar laut itu menelan biaya yang sangat tinggi. Karena pagarnya sendiri dari kayu ekslusif. Ada yang dari kayu jati, namun ada juga yang dari kayu ulin, kayu merbau, dan kayu damar laut.

Nelayan muda yang sedang memperbaiki jaringnya berkomentar, "Katanya ini untuk mencegah abrasi. Tapi kok yang terkikis malah isi perut kita, ya?" Semua tertawa kecil, meski getir.

Baca juga: Negeri di Atas Awan

Lalu, seorang pejabat desa datang dengan senyum lebar, seperti mentari pagi yang cerah - sayangnya hanya di luarnya saja. "Pagar ini simbol modernisasi," katanya sambil menunjuk pagar yang berdiri kokoh. Salah satu nelayan dengan santai menimpali, "Modernisasi, Pak? Apa maksudnya batas baru untuk keadilan yang makin sempit?"

Pejabat itu hanya tersenyum kikuk, sebelum seorang emak-emak nelayan memotong, "Kalau memang ini proyek besar, mana amdalnya? Jangan-jangan isinya cuma 'Amandemen untuk Dominasi Laut, bukan untuk Nelayan.'" Tawa pecah di tengah pertemuan itu, tapi pejabat tetap berdiri canggung seperti pohon kelapa yang menunggu ditebang.

Sore harinya, para nelayan berkumpul di warung kopi. Mereka mulai membuat teori-teori liar. Mereka bingung entah harus mengadu kemana. "Pagar ini kayak feed Instagram," celetuk seorang anak muda, "Kelihatan estetik, tapi bikin kita terlempar dari feed kehidupan." Yang lain tertawa terbahak-bahak.

"Bisa jadi, pagar ini proyek rahasia buat bikin kolam renang terbesar di dunia, atau spesies ikan duyung langka" tambah yang lain, "Cuma sayang, kita nelayan malah nggak dapat tiket masuk!" Gelak tawa makin keras. Bahkan si tukang kopi hampir menjatuhkan gelas karena tertawa.

Di tengah tawa itu, seorang nelayan tua berdiri dengan tenang, seperti sosok bijak di film-film. "Anak-anak," katanya sambil tersenyum, "laut itu seperti panggung drama di satu waktu. Namun juga bisa jadi panggung sandiwara di waktu lainnya. Kita, nelayan cuma figuran. Pemodal besar sutradaranya, dan penonton... ya kita juga. Jadi, bila negara terbelenggu pagar laut, maka ini sebuah komedi filosofis di pantai kehidupan", katanya serius. Orang-orang disana berkernyit tak faham. Maksudnya, gimana ini, pikir mereka.

Belum juga terjawab pertanyaan itu, nelayan tua yang sangat dihormati itu melanjutkan, "Tapi jangan lupa, yang nulis skripnya siapa? Ingat, Tuhan tidak pernah tidur! Jadi jangan takut, cerita ini belum selesai."

Semua terdiam sejenak. Tapi kemudian seorang pemuda iseng berteriak, "Kalau begitu, mari kita tunggu episode berikutnya: pengadaan gembok awan, biar hujan juga bisa diatur!" Dan tawa pun kembali membahana, mengisi sore itu dengan suara bahagia di tengah ironi kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun