Saat ini, UU Perampasan Aset, kembali ramai dibahas sana-sini dari berbagai sisi. Jelas, rasanya akan selalu menarik untuk dibahas terus selama 10 tahun terakhir ini. Dan mungkin juga akan masih dibahas 5 tahun kedepan.
Topik UU Perampasan Aset memang terlalu seksi dan sensitif dibahas. Mengapa? Konon, katanya, setidaknya ada 4 alasan yang mendasari:
Pertama, di negeri ini, korupsi bukan sekadar kejahatan, tapi semacam seni pertunjukan. Para pelakunya bagai pesulap ulung, dengan lihai menyulap uang negara menjadi harta pribadi. Sayangnya, trik mereka terlalu sering berhasil.
Kedua, keadilan di negeri ini ibarat timbangan yang senantiasa miring ke satu sisi. Semakin berat timbunan korupsi, semakin ringan hukuman yang dijatuhkan. Di pengadilan pun, mereka tak ciut nyali karena dah tahu vonis bakalan ringan. Uang pengganti pun ringan tanpa cicilan. Jadi, hepi aja, dan bisa menerima hukuman sambil menebar senyuman kemenangan kekayaan instan!
Untuk bisa korupsi rahasianya sederhana, cukup sudah berkeluarga, berperilaku sopan di pengadilan, dan belum pernah menerima hukuman. Aih, betapa hebatnya prospek profesi ini kedepan, kata setan membisiki semua niatan para pelaku koruptor ini. Kata setan juga bilang, kan kesempatan bisa diciptakan bersamaan ama kawan-kawan.
 Para akademisi dan para pecinta negeri pun berdiskusi seru di berbagai statsiun televisi, juga di diskusi publik. Katanya, hukuman ringan dengan korupsi bernilai gede itu mencederai rasa keadilan. Sampai mereka bosan menghitung, berapa jumlah kerugian negara yang hilang tak terselamatkan.
Ketiga, koruptor di negeri ini bagaikan rayap yang terus menggerogoti pondasi negara. Semakin lama dibiarkan, semakin parah kerusakannya. Sayangnya, kita lebih sibuk mencari obat nyamuk daripada membasmi rayap itu.
Keempat, di negeri ini, korupsi sudah menjadi semacam budaya. Bahkan, ada yang bilang, kalau tidak korupsi, berarti belum sukses. Dan kalau udah ketangkep, temennya bilang, "Ah, sayang... dia sedang kena sial!"
Sementara indeks persepsi korupsi (IPK) itu hanya sebuah informasi statistic dan dokumen saja, dan menghasilkan sebuah persepsi. Karena semua angka itu dari tahun ke tahun, hanya menghasilkan persepsi karena tak ada aksi yang berarti.
Sekarang, Yuk Kita Bertanya-Tanya