Beberapa hari kemudian, seorang pejabat daerah memberikan konferensi pers. Dengan wajah penuh percaya diri, dia mengumumkan: "Transparansi anggaran itu kayak lampu senter di gudang gelap. Kalau yang pegang senter malah nutupin matanya sendiri, ya yang lain cuma bisa meraba-raba." Para wartawan sibuk mencatat, meskipun sebagian dari mereka merasa lebih cocok jika pejabat itu melamar jadi stand-up comedian daripada politisi.Â
Di sela-sela pertemuan berikutnya, seorang pejabat daerah berbisik dengan nada penuh rahasia, "Kepala daerah bilang, 'Kita harus hemat anggaran!' sambil tanda tangan persetujuan perjalanan dinas ke Maladewa untuk 'belajar pengelolaan pantai yang baik'. Padahal, pantai sebelah kantor aja belum diurus." Semua yang mendengar nyengir kuda, tapi buru-buru menutupi mulut mereka dengan map cokelat.Â
Dan akhirnya, ketika investigasi tentang dana stunting menemukan bahwa anggaran miliaran rupiah hanya berakhir menjadi tahu dan nugget, seorang aktivis melontarkan pertanyaan yang sangat filosofis, "Dana stunting dipakai buat beli nugget dan tahu dengan harga selangit. Mungkin kita harus tanya ke tahu dan nugget itu, apakah mereka punya sertifikat doktor ekonomi, atau memang lulusan Harvard?" Â
Ruangan itu kembali sunyi. Mesin pendingin ruangan kembali menjadi suara paling dominan. Di luar sana, rakyat kecil masih menatap lembaran anggaran daerah yang berwarna-warni. Mereka berharap, suatu saat warna-warna itu bisa mereka lihat dalam bentuk nasi, lauk pauk, dan pendidikan yang layak untuk anak-anak mereka.Â
Dan di ujung cerita ini, kita hanya bisa bertanya-tanya: Apakah ini babak akhir dari drama anggaran daerah, ataukah masih akan ada sekuel yang lebih heboh, lebih mahal, dan lebih... lucu?Â
- TAMAT (Tapi mungkin akan ada episode selanjutnya). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H