"Di balik langkah lelah para ibu pemulung, ada cerita tentang keteguhan yang menopang negeri ini. Sebuah kisah yang menggetarkan hati."
Fajar masih malu-malu menyapa ufuk timur ketika embun terakhir mulai memudar di halaman Masjid Kubro, Jl. Abdullah Bin Nuh Cianjur. Sebelum azan subuh berkumandang, di sudut halaman masjid, tampak seorang ibu tua membungkuk di dekat tempat sampah. Jemarinya yang keriput dengan cekatan memilah plastik dan kardus bekas, seolah setiap benda yang dipegangnya adalah serpihan harapan yang akan ia tukarkan dengan sekeping rupiah.
Wajahnya tertutup kerudung lusuh, tapi matanya memancarkan keteguhan yang sulit dijelaskan. Ia bergerak dengan cepat, menyapu pandangan ke seluruh halaman masjid dengan sorot mata yang penuh harap. Bukan untuk meminta-minta, bukan untuk mengiba, tetapi untuk bekerja. Untuk menjemput rezeki dengan cara yang mulia, meski di antara tumpukan sampah.
Setelah salat subuh, langkah saya terasa berat meninggalkan masjid. Bayangan ibu tua itu masih tertanam kuat dalam ingatan. Namun, perjalanan pulang ke kampung halaman di Cilaku justru menambahkan luka yang sama. Di sudut gang kecil, seorang ibu lain tampak memanggul karung besar di punggungnya. Bahunya terlihat ringkih, tapi semangatnya sekuat baja. Dari satu tong sampah ke tong sampah lainnya, ia berjalan tanpa lelah, seperti prajurit di medan perang yang tidak mengenal kata menyerah.
Ba'da Isya di Masjid Al Muhajirin Cilaku, saya kembali menemukan pemandangan serupa. Sepasang suami istri yang sudah renta duduk di tepi jalan, di samping karung besar berisi barang-barang bekas yang mereka kumpulkan sepanjang hari. Di wajah mereka tidak ada keluhan, hanya ada keheningan yang menyimpan berjuta cerita tentang perjuangan.
Hari ini, pagi ini, saya melihat tiga anak kecil---dua perempuan dan satu laki-laki---berjalan beriringan dengan karung di punggung mereka. Kakak beradik ini berpakaian lusuh dan rambut mereka berdebu. Dua anak perempuan itu masih bersandal, meski talinya hampir putus, sedangkan si adik laki-laki berjalan bertelanjang kaki di atas aspal yang dingin.
Oh, negeri ini...
Betapa banyak ibu-ibu yang menjelma menjadi pemulung demi sesuap nasi. Betapa banyak anak-anak yang harus memikul beban lebih berat dari usianya. Namun, di balik pemandangan ini, ada sebuah pelajaran yang begitu dalam: ibu adalah tiang negeri, pilar peradaban, dan jantung dari setiap harapan yang masih tersisa.
Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dari kelembutan tangannya, lahir generasi yang tangguh. Dari doa-doanya di sepertiga malam, lahir harapan yang menggema hingga langit ketujuh. Dan dari langkah kakinya yang tak kenal lelah, tumbuh akar-akar kekuatan yang menopang negeri ini.
Maafkan kami, Ibu. Maafkan kami yang hanya bisa melihat tanpa mampu berbuat lebih banyak. Negeri ini seharusnya kaya, seharusnya sejahtera, seharusnya berdiri tegak dengan kepala yang terangkat. Namun, semua itu akan dimulai dari satu titik kecil: dari seorang ibu yang tangguh, cerdas, dan ikhlas dalam mendidik anak-anaknya.
Hari ini, di bawah langit yang mulai terang, saya berjanji dalam hati: Negeri ini akan lebih baik, dan semuanya akan bermula dari seorang ibu.
Ibu, engkau adalah pilar negeri. Tetaplah kuat, karena dari pundakmu, sejarah sedang dituliskan dengan tinta emas perjuangan yang tak pernah pudar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H