Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

PPN Naik: Bukti Nyata Bahwa Uang Tidak Membawa Kebahagiaan

21 Desember 2024   08:03 Diperbarui: 21 Desember 2024   11:38 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saat hidup terasa seperti seminar bertema 'Cara Bertahan Hidup dengan Pajak Naik', jangan menyerah - tersenyumlah. Atau, tertawalah. Karena senyum bisa mencegah manyun, dan tertawa adalah bentuk perlawanan paling elegan, katanya."

Pagi itu, Pak Rahmat, seorang bapak dua anak yang tinggal di pinggiran kota, termenung di warung kopi langganannya. "Katanya pajak untuk rakyat, tapi kenapa terasa seperti rakyat untuk pajak?" gumamnya. Ia menyeruput kopi hitam yang semakin hari semakin mahal- padahal kopinya makin encer. 

Di sebelahnya, Bu Santi, tetangga yang terkenal suka berkomentar pedas, menimpali. "Ini, Pak. Pemerintah bilang kenaikan PPN itu supaya rakyat belajar mandiri. Tapi, bagaimana bisa mandiri kalau sabun mandi saja makin mahal? Apa kita harus belajar hidup tanpa mandi, ya?" katanya sambil tertawa getir. 

Pak Rahmat ikut tertawa, walau hatinya masih galau. "Saya rasa ini mirip cerita keledai, Bu. Beban di punggungnya sudah berat, eh malah ditambah lagi. Bedanya, keledai bisa berhenti, kita cuma bisa mengeluh," balasnya dengan nada sarkas. 

"Tunggu, Pak," potong Bu Santi lagi. "Mungkin solusi terbaik memang hidup tanpa kebutuhan. Tapi... tunggu dulu, bernafas kan belum kena pajak, ya? Atau jangan-jangan itu sudah masuk rencana tahun depan?" Bu Santi melotot, seolah-olah bisa melihat masa depan yang makin suram. 

Pak Rahmat tersenyum tipis. "Iya, Bu. Saya juga bingung, daya beli turun, utang naik, PPN naik. Apakah ini strategi cerdas untuk bikin kita lebih hemat atau sekadar cara agar kita gak punya pilihan selain puasa setiap hari?" katanya sambil mengaduk kopinya yang sudah dingin. 

Bu Santi mendesah panjang. "Kalau UMP kita hanya cukup buat setengah kebutuhan hidup, apakah ini cara halus pemerintah menyuruh kita tinggal setengah bulan saja di rumah? Sisanya ngungsi ke planet lain?" 

Pak Rahmat tertawa. "Ngomong-ngomong soal hemat, anak saya bilang, 'Pak, dulu Bapak sering bilang jangan boros, nabunglah! Sekarang nabung pun kayak bercanda, soalnya setiap hari harga barang yang duluan ketawa.' Lucu, ya, anak zaman sekarang," katanya sambil menggaruk kepala yang tak gatal. 

Bu Santi mengangguk setuju. "Iya, Pak. Katanya ekonomi harus dipacu, tapi kenapa rasanya kita yang terus-terusan dikejar sampai ngos-ngosan? Mungkin ini bagian dari pelatihan mental." 

Obrolan mereka semakin hangat. Pak Rahmat tiba-tiba melontarkan ide, "Bu, kalau harga sabun terus naik, mungkin di masa depan kita bakal ada seminar motivasi baru: *'Cara Bertahan Hidup dengan PPN 15%'*. Lengkap dengan sertifikat untuk CV, tapi tetap tanpa garansi hidup layak!" 

Bu Santi terbahak, hampir tersedak kopi. "Iya, Pak. Bahkan, mungkin mandi bakal jadi barang mewah. Selamat datang di era parfum sebagai pengganti pancuran! Ini zaman baru, Pak Rahmat. Kita harus siap." 

Keduanya pun tertawa bersama, meski dalam hati mereka sadar, ada ironi besar di balik humor ini. Tapi seperti kata pepatah: "Kalau hidup sudah terlalu pahit, kadang kita cuma bisa memilih- tertawa atau menangis." Pak Rahmat dan Bu Santi, tentu saja, memilih tertawa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun