"Saat hidup terasa seperti seminar bertema 'Cara Bertahan Hidup dengan Pajak Naik', jangan menyerah - tersenyumlah. Atau, tertawalah. Karena senyum bisa mencegah manyun, dan tertawa adalah bentuk perlawanan paling elegan, katanya."
Pagi itu, Pak Rahmat, seorang bapak dua anak yang tinggal di pinggiran kota, termenung di warung kopi langganannya. "Katanya pajak untuk rakyat, tapi kenapa terasa seperti rakyat untuk pajak?" gumamnya. Ia menyeruput kopi hitam yang semakin hari semakin mahal- padahal kopinya makin encer.Â
Di sebelahnya, Bu Santi, tetangga yang terkenal suka berkomentar pedas, menimpali. "Ini, Pak. Pemerintah bilang kenaikan PPN itu supaya rakyat belajar mandiri. Tapi, bagaimana bisa mandiri kalau sabun mandi saja makin mahal? Apa kita harus belajar hidup tanpa mandi, ya?" katanya sambil tertawa getir.Â
Pak Rahmat ikut tertawa, walau hatinya masih galau. "Saya rasa ini mirip cerita keledai, Bu. Beban di punggungnya sudah berat, eh malah ditambah lagi. Bedanya, keledai bisa berhenti, kita cuma bisa mengeluh," balasnya dengan nada sarkas.Â
"Tunggu, Pak," potong Bu Santi lagi. "Mungkin solusi terbaik memang hidup tanpa kebutuhan. Tapi... tunggu dulu, bernafas kan belum kena pajak, ya? Atau jangan-jangan itu sudah masuk rencana tahun depan?" Bu Santi melotot, seolah-olah bisa melihat masa depan yang makin suram.Â
Pak Rahmat tersenyum tipis. "Iya, Bu. Saya juga bingung, daya beli turun, utang naik, PPN naik. Apakah ini strategi cerdas untuk bikin kita lebih hemat atau sekadar cara agar kita gak punya pilihan selain puasa setiap hari?" katanya sambil mengaduk kopinya yang sudah dingin.Â
Bu Santi mendesah panjang. "Kalau UMP kita hanya cukup buat setengah kebutuhan hidup, apakah ini cara halus pemerintah menyuruh kita tinggal setengah bulan saja di rumah? Sisanya ngungsi ke planet lain?"Â
Pak Rahmat tertawa. "Ngomong-ngomong soal hemat, anak saya bilang, 'Pak, dulu Bapak sering bilang jangan boros, nabunglah! Sekarang nabung pun kayak bercanda, soalnya setiap hari harga barang yang duluan ketawa.' Lucu, ya, anak zaman sekarang," katanya sambil menggaruk kepala yang tak gatal.Â
Bu Santi mengangguk setuju. "Iya, Pak. Katanya ekonomi harus dipacu, tapi kenapa rasanya kita yang terus-terusan dikejar sampai ngos-ngosan? Mungkin ini bagian dari pelatihan mental."Â
Obrolan mereka semakin hangat. Pak Rahmat tiba-tiba melontarkan ide, "Bu, kalau harga sabun terus naik, mungkin di masa depan kita bakal ada seminar motivasi baru: *'Cara Bertahan Hidup dengan PPN 15%'*. Lengkap dengan sertifikat untuk CV, tapi tetap tanpa garansi hidup layak!"Â