Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghormati Wacana Ilmu dengan Etika dan Perspektif dalam Diskusi Ilmiah

6 Desember 2024   17:08 Diperbarui: 7 Desember 2024   06:34 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adab yang luhur adalah jembatan menuju ilmu yang berkah.|Image: thrfisheriesblog.com

"Diskusi tanpa adab hanya melahirkan kebisingan; diskusi dengan etika melahirkan kebijaksanaan."

Sebagai seorang pembelajar, kita sering dihadapkan pada kritik atau masukan dalam berbagai diskusi, termasuk ketika referensi yang kita gunakan dianggap "usang". Komentar semacam itu, seperti "Referensi sudah lewat dari 5 tahun, jadi sudah usang," dapat memancing berbagai reaksi emosional dan intelektual. 

Bila itu terjadi, abaikan saja bila ia sendiri tak menyampaikan apakah teori "usang" yang kita itu masih relevan atau tidak. Juga, abaikan saja bila ia pun tak menyampaikan penelitian terbaru, studi terkini, atau riset mutakhir yang bisa melengkapi diskusi tersebut.

Hindari berdebat, apalagi dengan orang yang kurang punya adab.

Namun, bagaimana seharusnya kita menyikapi pernyataan semacam ini? Mari kita ulas dengan pendekatan yang sistematis, inspiratif, dan mendalam.

Pentingnya Pemahaman Konteks dalam Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan berkembang secara progresif dan kumulatif. Setiap temuan baru didasarkan pada pondasi yang dibangun oleh penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, referensi yang lebih tua tidak selalu kehilangan relevansi. Sebaliknya, teori atau konsep mendasar sering menjadi landasan bagi penelitian-penelitian terbaru. Sebagai contoh, teori relativitas Einstein (1905) tetap menjadi pijakan penting dalam fisika modern, bahkan di era teknologi kuantum saat ini.

Namun demikian, ada disiplin ilmu tertentu seperti teknologi informasi atau bioteknologi yang memang berkembang sangat cepat sehingga penelitian terbaru menjadi sangat penting. Dalam konteks ini, relevansi waktu referensi harus disesuaikan dengan bidang kajian dan tujuan diskusi.

Etika dalam Menyampaikan Kritik

Kritik adalah bagian integral dari diskusi ilmiah yang sehat. Namun, cara kritik disampaikan mencerminkan karakter dan kedewasaan intelektual seseorang. Pernyataan yang langsung menyebut referensi "usang" tanpa memberikan argumen yang mendukung dapat mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap kontribusi orang lain. Dalam dunia akademik dan profesional, kritik yang membangun dan bersifat dialogis lebih dihargai.

Sikap yang santun, seperti menyampaikan kritik dengan pertanyaan, dapat membuka ruang diskusi yang lebih produktif. Contohnya: "Apakah ada penelitian terbaru yang bisa melengkapi perspektif ini?" atau "Bagaimana teori ini masih relevan dalam konteks saat ini?".

"Diskusi ilmiah bukanlah arena untuk menjatuhkan, tetapi ladang untuk menanam kebenaran dengan adab, ilmu, dan niat yang tulus."

Neurosains dalam Diskusi: Mengelola Respons Emosional

Sebagai manusia, kritik sering kali memicu respons emosional. Menurut penelitian dalam bidang neurosains, bagian otak yang disebut amygdala bertanggung jawab atas reaksi emosional seperti rasa tersinggung atau defensif. Ketika kritik datang, penting untuk mengaktifkan fungsi prefrontal cortex - bagian otak yang mengatur logika dan pengambilan keputusan - untuk merespons dengan tenang dan rasional.

Latihan seperti pernapasan dalam dan mindfulness dapat membantu menenangkan reaksi amygdala, sehingga kita dapat merespons kritik dengan cara yang lebih bijak dan produktif.

Mengubah Kritik Menjadi Kesempatan Belajar

Kritik, termasuk yang disampaikan dengan kurang tepat, tetap bisa menjadi kesempatan untuk belajar. Jika ada yang mengomentari referensi kita sebagai "usang," ini adalah peluang untuk:
1. Melakukan evaluasi ulang: Apakah ada penelitian baru yang relevan?
2. Menguatkan argumen: Bagaimana teori lama masih relevan?
3. Meningkatkan diskusi: Mengajak orang lain untuk berbagi pandangan atau data terbaru.

Pendekatan ini tidak hanya memperkaya wawasan kita, tetapi juga menunjukkan bahwa kita adalah pembelajar sejati yang terbuka terhadap masukan.

"Kritik adalah undangan untuk tumbuh, bukan alasan untuk menyerah. Jadikan setiap masukan sebagai batu loncatan menuju pemahaman yang lebih dalam."

Inspirasi dari Adab Ilmiah Klasik

Dalam tradisi keilmuan Islam, adab dalam berdiskusi telah diajarkan sejak lama. Imam Al-Ghazali, misalnya, menekankan pentingnya diskusi yang dilakukan dengan niat untuk mencari kebenaran, bukan untuk menang berdebat. Prinsip ini relevan hingga hari ini: diskusi ilmiah seharusnya menjadi ruang kolaborasi, bukan arena konfrontasi.

Penutup: Membawa Diskusi ke Level yang Lebih Tinggi

Sebagai insan pembelajar, kita bertanggung jawab tidak hanya pada validitas argumen kita, tetapi juga pada cara kita menyampaikan dan menerima kritik. Dengan mengedepankan adab, kita tidak hanya menjaga keharmonisan dalam diskusi, tetapi juga memperkuat kredibilitas kita sebagai individu yang berwawasan luas dan berjiwa besar.

Kritik yang konstruktif, referensi yang relevan, dan adab yang luhur adalah tiga pilar yang harus kita bangun dalam setiap diskusi ilmiah. Dengan demikian, kita tidak hanya berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga membangun budaya intelektual yang bermartabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun