"Lebih baik jadi rakyat jelata dengan hati yang bersih, daripada tinggal di istana tapi kehilangan adab dan keimanan."
Lebih baik jadi rakyat jelata, tapi kata-kata tetap terjaga. Daripada jadi orang yang tinggal di istana, namun adab, etika, dan sikap rusak tak tertata. Pilihan hidup seseorang seringkali bukan sekadar persoalan takdir, melainkan cerminan dari nilai dan prinsip yang dipegang teguh. Dalam dunia yang penuh gemerlap dan godaan, menjadi sederhana bukanlah kekurangan, melainkan keutamaan yang semakin langka.
Lebih baik jadi rakyat jelata yang masih terbatas ilmunya dan terus giat belajar, daripada jadi orang yang merasa pintar namun tak punya kepekaan hati dan rasa. Ilmu sejatinya adalah cahaya yang menerangi jalan kebenaran. Namun, jika ilmu digunakan untuk memanipulasi kebenaran atau memperdaya orang lain, maka itu bukan lagi ilmu, melainkan alat penghancur peradaban.
Lebih baik jadi rakyat jelata yang mencari makan dengan halal dan sederhana, daripada jadi orang elit yang aji mumpung memperkaya diri dan kroninya dari anggaran negara. Kejujuran dalam mencari nafkah adalah tanda ketakwaan. Sebaliknya, kerakusan terhadap harta negara mencerminkan kehancuran moral. Betapa sering kita melihat mereka yang berkuasa lupa bahwa jabatan adalah amanah, bukan alat untuk memperkaya diri.
Lebih baik jadi rakyat jelata yang hidup dalam kesederhanaan tapi penuh syukur, daripada jadi orang kaya yang sombong dan lupa diri. Kesederhanaan adalah inti dari kebahagiaan sejati. Dalam kesederhanaan, ada ketulusan. Sedangkan kesombongan hanya akan menjauhkan manusia dari rahmat Allah dan menciptakan jurang pemisah antara sesama.
"Kesederhanaan bukan kelemahan, melainkan kekuatan untuk menjaga kejujuran dan meraih kemuliaan di sisi Allah."
Kontras Rasa Keadilan Sosial
"Rakyat jelata" adalah istilah dalam bahasa Indonesia yang merujuk pada rakyat biasa atau orang kebanyakan, yang bukan termasuk dalam golongan bangsawan atau hartawan. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan masyarakat umum yang tidak memiliki status sosial tinggi atau kekayaan yang signifikan. Istilah "rakyat jelata" juga bersinonm "rakyat kecil", "wong cilik", dan "masyarakat kelas bawah"
Rakyat jelata kerap menjadi saksi bisu ketimpangan sosial yang begitu mencolok. Mereka bekerja keras dari pagi hingga malam untuk sekadar menyambung hidup, sementara sebagian elite menikmati kemewahan hasil dari praktik-praktik tak bermoral. Ketika yang kaya semakin kaya dengan cara licik, dan yang miskin semakin terpuruk karena kebijakan yang tak berpihak, maka rasa keadilan benar-benar tercabik.
Sebagai orang yang menjungjung tinggi nilai-nilai agama, kita diingatkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” Namun, realitas menunjukkan ironi: banyak pemimpin yang lupa melayani, justru sibuk mencari keuntungan pribadi. Rakyat kecil yang seharusnya dibela justru sering menjadi korban.
Pesan untuk Para Pemimpin dan Rakyat
Kepada para pemimpin, ingatlah bahwa kekuasaan itu fana. Dunia hanyalah tempat singgah sementara. Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang dapat menjaga amanah, adil terhadap semua golongan, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat. Sedangkan bagi rakyat, jangan pernah berhenti berharap dan berdoa. Allah Maha Melihat. Kesabaran dalam ketidakadilan akan menjadi saksi di akhirat kelak.
Lebih baik jadi rakyat jelata yang hatinya dekat dengan Allah, daripada jadi penguasa yang lupa akan Tuhannya. Ingatlah, ukuran kemuliaan seseorang di sisi Allah bukan pada jabatan atau harta, melainkan pada ketakwaan dan amalnya.
Lebih baik sederhana tapi bermartabat, daripada megah tanpa adab.
Semoga kita semua termasuk dalam golongan yang menjaga integritas, adab, dan iman, di mana pun posisi kita berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H