Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Negeri Karpet Merah untuk Pendosa Pajak

22 November 2024   05:13 Diperbarui: 22 November 2024   08:53 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di negeri karpet merah, jujur itu cuma pilihan, curang malah jadi promosi karena Tax Amnesty. |Image: Bing.com

"Dalam dunia pajak, kejujuran itu seperti diskon besar-besaran - langka, tapi dampaknya luar biasa. Bayarlah pajak dengan jujur, karena utang pada negara tak punya fitur 'amnesty' di akhirat."

Ada cerita menarik di negeri Huhuhaha, tempat di mana hukum perpajakan kerap diperlakukan seperti kue ulang tahun - dibelah-belah, disisihkan, lalu disantap diam-diam oleh yang berduit tebal. Suatu hari, pemerintah di negeri itu berbisik kepada para pengemplang pajak: "Sudahlah, tak usah malu-malu, kami sudah siapkan karpet merah. Bayar sedikit saja, dan semua dosa kalian kami maafkan."

Ya, Anda tidak salah dengar. Di negeri yang penuh kelucuan itu, obral ampunan bagi pendosa pajak jadi rencana besar untuk mengisi kantong negara yang utangnya besar dan menganga. Ironisnya, mereka yang patuh membayar pajak, meski berat, hanya bisa mengelus dada. Aturan pajak di sini seperti pepatah klasik: "Hukum dibuat untuk dilanggar, pajak dibuat untuk dimaafkan."

Ketika Negara "Memaafkan" dengan Harga Murah

Program ini disebut sebagai "tax amnesty". Sekilas terdengar mulia, seperti pengakuan dosa di tempat ibadah. Tapi bedanya, di sini ampunan bukan diberikan demi kebajikan, melainkan demi kas negara yang seret, ruwet dan mumet. Negara tampaknya mulai belajar seni negosiasi tinggi: "Boleh saja kalian curang, asal bayar sedikit saja. Kita damai, ya?"

Namun, apa jadinya jika orang jujur terus membayar pajak, sementara para pengemplang dilindungi undang-undang negara? Jawabannya sederhana: keadilan yang tertukar. Sebuah parodi nyata dari demokrasi yang katanya menjunjung kesetaraan.

Keadilan atau Lelucon?

Mari kita coba memvisualisasikan adegan ini:

Bayangkan seorang pegawai kecil bernama Pak Jujur. Setiap bulan, ia menyerahkan sebagian gajinya untuk pajak, meski kadang harus memotong anggaran makan siangnya. Di sisi lain, ada Tuan Muda Kaya Raya yang suka naik private-jet dan flexing, yang memarkirkan mobil sport-nya di garasi mansion mewah pernah berkata:
"Ah, bayar pajak? Tunggu saja program amnesti berikutnya!"

Dan ternyata, benar saja. Program amnesti pajak bukan barang baru di negeri yang pejabat negaranya bisa punya gelar dan ijasah dadakan. Tahun 2016 ada, tahun 2021 diulang, dan kini, tahun 2025 pun direncanakan lagi. Kalau begini terus, jangan-jangan, program ini bakal jadi tradisi tahunan - seperti festival diskon besar-besaran. "Ampunan Pajak, hanya hari ini! Jangan lewatkan!"

Refleksi: Sebuah Pertanyaan Retoris

Tapi mari kita renungkan: apakah benar solusi atas defisit negara adalah memaafkan mereka yang memanfaatkan celah hukum? Mengapa orang yang jujur malah terlihat bodoh, sementara pelanggar dianggap langkah strategis nasional?

Salah seorang filsuf pajak bergelar doktor yang ia peroleh dalam waktu kurang dari dua tahun, pernah berkata:
"Ketika negara memberikan ampunan kepada yang salah, siapa yang sebenarnya berdosa? Mereka, atau kita yang membiarkan?"

Kebijakan atau Parodi?

Obral ampunan ini mengajarkan satu hal kepada rakyat kecil dan wong cilik: kalau Anda ingin dihormati negara, jangan taat. Simpan saja penghasilan Anda di bawah bantal, tunggu undangan tax amnesty berikutnya, lalu bayar sedikit, dan tersenyumlah dengan puas.

Negara pun mulai terlihat seperti wasit dalam pertandingan sepak bola, yang memberikan kartu merah kepada pemain yang patuh mengikuti aturan. Sementara pemain yang curang diberi piala dan ucapan selamat: "Selamat, Anda berhasil memanfaatkan sistem dengan cerdas!"

Penutup: Mengapa Harus Lucu, Tapi Menyentil?

Seorang bijak pernah berkata di sebuah di grup WhatsApp yang tak jelas tujuan dan bahasannya:
"Hukum tanpa keadilan adalah lelucon. Tapi lelucon ini terlalu mahal bagi rakyat kecil yang setia membayar pajak."

Maka, sebelum negara menjadi bahan meme kolektif di media sosial, mungkin sudah saatnya kita bertanya: apakah kita benar-benar ingin keadilan, atau cukup puas dengan humor yang disajikan dalam bentuk kebijakan?

Karena jika ampunan pajak terus diobral seperti diskon akhir tahun, jangan salahkan rakyat kalau mereka mulai berpikir: "Ah, hukum itu seperti Wi-Fi gratis, semua orang tahu caranya untuk mencuri sinyalnya."

* Catatan Akhir: Humor ini bukan hanya untuk tertawa, tapi untuk berpikir. Anda sudah bayar pajak hari ini? Jangan khawatir, nanti juga dimaafkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun