Tapi mari kita renungkan: apakah benar solusi atas defisit negara adalah memaafkan mereka yang memanfaatkan celah hukum? Mengapa orang yang jujur malah terlihat bodoh, sementara pelanggar dianggap langkah strategis nasional?
Salah seorang filsuf pajak bergelar doktor yang ia peroleh dalam waktu kurang dari dua tahun, pernah berkata:
"Ketika negara memberikan ampunan kepada yang salah, siapa yang sebenarnya berdosa? Mereka, atau kita yang membiarkan?"
Kebijakan atau Parodi?
Obral ampunan ini mengajarkan satu hal kepada rakyat kecil dan wong cilik: kalau Anda ingin dihormati negara, jangan taat. Simpan saja penghasilan Anda di bawah bantal, tunggu undangan tax amnesty berikutnya, lalu bayar sedikit, dan tersenyumlah dengan puas.
Negara pun mulai terlihat seperti wasit dalam pertandingan sepak bola, yang memberikan kartu merah kepada pemain yang patuh mengikuti aturan. Sementara pemain yang curang diberi piala dan ucapan selamat: "Selamat, Anda berhasil memanfaatkan sistem dengan cerdas!"
Penutup: Mengapa Harus Lucu, Tapi Menyentil?
Seorang bijak pernah berkata di sebuah di grup WhatsApp yang tak jelas tujuan dan bahasannya:
"Hukum tanpa keadilan adalah lelucon. Tapi lelucon ini terlalu mahal bagi rakyat kecil yang setia membayar pajak."
Maka, sebelum negara menjadi bahan meme kolektif di media sosial, mungkin sudah saatnya kita bertanya: apakah kita benar-benar ingin keadilan, atau cukup puas dengan humor yang disajikan dalam bentuk kebijakan?
Karena jika ampunan pajak terus diobral seperti diskon akhir tahun, jangan salahkan rakyat kalau mereka mulai berpikir: "Ah, hukum itu seperti Wi-Fi gratis, semua orang tahu caranya untuk mencuri sinyalnya."
* Catatan Akhir: Humor ini bukan hanya untuk tertawa, tapi untuk berpikir. Anda sudah bayar pajak hari ini? Jangan khawatir, nanti juga dimaafkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H