demokrasi bermartabat menjadi kenyataan."
"Netralitas adalah fondasi keadilan. Ketika aparatur negara tak berpihak,Netralitas aparatur negara dalam perjalanan demokrasi, adalah fondasi yang menjamin keadilan dan integritas pemilu. Namun, di Indonesia, realitasnya masih jauh dari ideal. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru-baru ini (Kamis, 14/11/2024) memperkenalkan sanksi pidana bagi pelanggar netralitas merupakan langkah maju. Tetapi, masalah ini lebih kompleks dari sekadar ancaman pidana ringan.
Pijakan Baru yang Setengah Hati
Keputusan MK yang memberikan ancaman pidana enam bulan penjara dan/atau denda maksimal Rp 6 juta bagi pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/Polri, dan Kepala Desa atau Lurah yang melanggar netralitas, adalah respons atas kekosongan hukum sebelumnya. Selama ini, undang-undang hanya memberikan perintah tanpa konsekuensi hukum yang efektif. Hasilnya, netralitas lebih sering dilanggar tanpa rasa takut atau malu.
Namun, sanksi ini terkesan setengah hati. Rp6 juta bagi sebagian pejabat tinggi ibarat angin lalu. Apalagi, rasa malu dalam budaya birokrasi kita tampaknya sudah menjadi barang langka. Ketika pelanggaran menjadi hal yang sistemik, hukuman ringan seperti ini tidak akan cukup untuk menekan pelanggaran netralitas secara signifikan.
Statistik yang Mengkhawatirkan
Prediksi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) bahwa akan ada 10 ribu kasus pelanggaran netralitas ASN pada Pemilu 2024 adalah alarm keras. Angka ini lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan Pilkada 2020. Kondisi ini mengindikasikan betapa lemahnya kepatuhan pada prinsip netralitas meski sudah ada berbagai aturan hukum.
Fakta bahwa pelanggaran terus meningkat menunjukkan dua hal: lemahnya pengawasan dan minimnya sanksi yang bersifat menjerakan. Ini juga mencerminkan kurangnya kesadaran etika dan tanggung jawab moral dari aparatur negara untuk menjaga demokrasi yang bersih.
Konteks Sosial dan Budaya
Ketidaknetralan ini tidak hanya masalah hukum, tetapi juga persoalan budaya politik. Dalam budaya birokrasi kita, loyalitas terhadap atasan sering kali lebih diutamakan dibandingkan prinsip profesionalisme. Ketika seorang petahana mencalonkan diri, aparat negara cenderung merasa 'terpaksa' berpihak, demi menjaga posisi atau keuntungan tertentu.
Tidak adanya rasa malu kolektif membuat pelanggaran ini terus terjadi. Ketika pelanggaran dianggap normal, maka upaya untuk menciptakan netralitas hanya menjadi mimpi di siang bolong.