"Survei sejatinya cermin publik, bukan pesanan ala kafe. Bukan buat mencerminkan dompet pemesan, tapi cerminkan kepercayaan rakyat. Jadi, mau pilih jujur atau tambah topping?"
Suatu pagi, beberapa karyawan nampak berkumpul di kantin perusahaan. Seperti biasa, beberapa diantara mereka sedang memesan kopi, dan sebagian lagi ada yang tengah makan roti dan mie rebus sebagai pengganti sarapan pagi.
Hal yang menarik, di sudut kanan dekat jendela luar, nampak ada sekelompok karyawan yang sedang ramai membahas survei yang baru saja dirilis. Katanya, hasilnya kok jomplang banget? Yang satu bilang si A di atas angin, yang satunya lagi bilang si B yang menang telak.
Perbedaan hasilnya nggak tanggung-tanggung, ibarat langit dan bumi! Atau ibarat Kutub Utara dan Kutub Selatan. Mulailah mereka, juga masyarakat luas bertanya-tanya, ini survei atau pertunjukan sulap?
Si Budi, yang terkenal bijak bak filsuf kampus, akhirnya berkomentar sambil mengelus dagunya, "Survei itu ibarat cermin, teman-teman. Tapi kalau cerminnya retak, jangan kaget kalau wajah kita tampak aneh. Nah, kalau cerminnya terlalu banyak dipoles sama opini, yang muncul bukan wajah kita lagi, tapi bayangan siapa yang bayar untuk cermin itu."
Seketika mereka tertawa. Lalu, si Fufu, pengamat segala hal yang tak pernah ketinggalan berita, nimbrung, "Eh, jangan-jangan ini survei yang bisa diubah sesuai pesanan! Kita ini hidup di era di mana realitas bisa dipesan sesuai selera sebelum makan malam. Hari ini mau manis atau pahit, tinggal pilih sesuai dompet aja."
Mereka makin ngakak, apalagi saat si Mulyo, orang paling kritis di kantor, nyeletuk dengan nada serius tapi ekspresi konyol, "Nah, kalau mau tahu hasil survei sekarang, tunggu dulu... lihat dulu siapa yang bayar! Jangan-jangan, kalau survei bisa dipesan, yang disurvei bukan kita, tapi isi rekening si pemesan!"
Gelak tawa meledak lagi. Si Kara, office boy yang rajin kirim kopi keliling, yang selalu tampil kalem, akhirnya menambahkan, "Seberapa besar kita bisa percaya sama survei yang hasilnya ke mana angin bertiup? Eh, jangan-jangan mereka yang pesen malah mikir survei itu kayak coffee shop. Bisa pilih rasa, mau yang pahit atau manis, tinggal pesan."
Ketawa mereka makin keras saat Fufu melanjutkan, "Tuh, survei sekarang jadi kayak update status di media sosial aja, bebas ekspresi, asal ngena di hati yang bayar!"
Lalu, tiba-tiba si Andi yang punya bakat jadi komedian nyeleneh menutup percakapan dengan gaya dramatis, "Nah, ini pertanyaannya, kawan-kawan... survei ini alat pengukur opini rakyat, atau alat pengukur kantong yang bayar survei? Kalau hasilnya tergantung siapa yang pesan, kita harus ganti nama jadi Pesanan Opini Publik!"