Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Agung MSG adalah seorang trainer dan coach berpengalaman di bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di 93 kota di 22 provinsi di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Dengan pengalaman memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di 62 kota di Indonesia, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Survei Koq Jadi Kayak Pesanan Kopi? Beda Bayar, Beda Rasa!

7 November 2024   03:35 Diperbarui: 7 November 2024   07:09 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Survei sejatinya cermin publik, bukan pesanan ala kafe. Bukan buat mencerminkan dompet pemesan, tapi cerminkan kepercayaan rakyat. Jadi, mau pilih jujur atau tambah topping?"

Suatu pagi, beberapa karyawan nampak berkumpul di kantin perusahaan. Seperti biasa, beberapa diantara mereka sedang memesan kopi, dan sebagian lagi ada yang tengah makan roti dan mie rebus sebagai pengganti sarapan pagi.

Hal yang menarik, di sudut kanan dekat jendela luar, nampak ada sekelompok karyawan yang sedang ramai membahas survei yang baru saja dirilis. Katanya, hasilnya kok jomplang banget? Yang satu bilang si A di atas angin, yang satunya lagi bilang si B yang menang telak.

Perbedaan hasilnya nggak tanggung-tanggung, ibarat langit dan bumi! Atau ibarat Kutub Utara dan Kutub Selatan. Mulailah mereka, juga masyarakat luas bertanya-tanya, ini survei atau pertunjukan sulap?

Si Budi, yang terkenal bijak bak filsuf kampus, akhirnya berkomentar sambil mengelus dagunya, "Survei itu ibarat cermin, teman-teman. Tapi kalau cerminnya retak, jangan kaget kalau wajah kita tampak aneh. Nah, kalau cerminnya terlalu banyak dipoles sama opini, yang muncul bukan wajah kita lagi, tapi bayangan siapa yang bayar untuk cermin itu."

Seketika mereka tertawa. Lalu, si Fufu, pengamat segala hal yang tak pernah ketinggalan berita, nimbrung, "Eh, jangan-jangan ini survei yang bisa diubah sesuai pesanan! Kita ini hidup di era di mana realitas bisa dipesan sesuai selera sebelum makan malam. Hari ini mau manis atau pahit, tinggal pilih sesuai dompet aja."

Mereka makin ngakak, apalagi saat si Mulyo, orang paling kritis di kantor, nyeletuk dengan nada serius tapi ekspresi konyol, "Nah, kalau mau tahu hasil survei sekarang, tunggu dulu... lihat dulu siapa yang bayar! Jangan-jangan, kalau survei bisa dipesan, yang disurvei bukan kita, tapi isi rekening si pemesan!"

Gelak tawa meledak lagi. Si Kara, office boy yang rajin kirim kopi keliling, yang selalu tampil kalem, akhirnya menambahkan, "Seberapa besar kita bisa percaya sama survei yang hasilnya ke mana angin bertiup? Eh, jangan-jangan mereka yang pesen malah mikir survei itu kayak coffee shop. Bisa pilih rasa, mau yang pahit atau manis, tinggal pesan."

Ketawa mereka makin keras saat Fufu melanjutkan, "Tuh, survei sekarang jadi kayak update status di media sosial aja, bebas ekspresi, asal ngena di hati yang bayar!"

Lalu, tiba-tiba si Andi yang punya bakat jadi komedian nyeleneh menutup percakapan dengan gaya dramatis, "Nah, ini pertanyaannya, kawan-kawan... survei ini alat pengukur opini rakyat, atau alat pengukur kantong yang bayar survei? Kalau hasilnya tergantung siapa yang pesan, kita harus ganti nama jadi Pesanan Opini Publik!"

Suasana jadi pecah. Semua terpingkal-pingkal sampai perut mereka sakit. Dialog ini menjadi cerita kocak sepanjang hari. Tidak hanya menghibur, tapi mereka juga pulang sambil berpikir, mungkin ada benarnya apa yang mereka bahas. Di balik tawa, terselip kritis; sebuah refleksi sosial yang tak lekang oleh waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun