Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pendekatan Represif Gagal: Mencari Solusi Tawuran Tanpa Kekerasan

27 September 2024   22:44 Diperbarui: 27 September 2024   22:45 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pendekatan represif mungkin bisa membubarkan kerumunan, namun hanya pendekatan manusiawi yang bisa membentuk generasi yang lebih baik."

Penanganan tawuran remaja sering kali berujung tragis, di mana pendekatan represif yang seharusnya menekan kekerasan justru memakan korban jiwa. Kasus terbaru di Kota Bekasi, Jawa Barat, pada 21 September 2024, menjadi bukti nyata bahwa ada yang salah dalam prosedur pembubaran kerumunan oleh aparat keamanan. Tujuh remaja ditemukan tewas di Kali Bekasi sehari setelah mereka melompat ke sungai karena ketakutan saat dikejar polisi. Ini bukan kali pertama tragedi serupa terjadi, dan sudah saatnya kita mengevaluasi pendekatan yang digunakan untuk mencegah tawuran.

Polisi: Dari Pelindung Menjadi Ancaman?

Dalam banyak kasus, polisi dianggap sebagai pelindung masyarakat. Namun, dalam situasi seperti ini, kita justru menyaksikan fenomena "tongkat membawa rebah," di mana pihak yang seharusnya melindungi malah menyebabkan kematian. Keterangan polisi bahwa para remaja melompat karena takut ditangkap patut dipertanyakan, mengingat ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi tindakan nekat tersebut.

Dari segi investigatif, kasus ini perlu diteliti lebih dalam, terutama terkait dengan protokol yang dijalankan oleh aparat ketika membubarkan kerumunan. Apakah langkah yang diambil benar-benar sesuai standar, atau malah memperparah situasi?

Tragedi di Bekasi ini mirip dengan kasus Afif Maulana, seorang remaja di Padang yang tewas pada Juni lalu setelah melompat dari Jembatan Kuranji. Pada saat itu, polisi juga menyatakan Afif melompat karena takut ditangkap, namun kemudian ditemukan adanya tanda-tanda kekerasan di tubuhnya. Ini mengindikasikan bahwa kekerasan sering kali terjadi, baik saat pembubaran maupun setelah remaja ditangkap. Situasi ini menunjukkan adanya dugaaan kesalahan mendasar dalam penanganan tawuran oleh pihak kepolisian.

Pentingnya Transparansi dan Akuntabilitas

Dalam setiap proses investigasi, transparansi menjadi kunci untuk membangun kepercayaan masyarakat. Sayangnya, dalam kasus kematian tujuh remaja di Bekasi, kepolisian terkesan menutup-nutupi informasi terkait penyebab kematian para korban. Keterbukaan dalam pelaporan perkembangan kasus secara berkala akan sangat membantu, tidak hanya dalam menjaga kredibilitas kepolisian, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam mengawal proses hukum sehingga hasil akhirnya tidak menyimpang.

Transparansi yang minim menimbulkan syak wasangka, seolah-olah hukum tidak ditegakkan secara adil, dan justru digunakan untuk melindungi nama baik institusi.

Kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum sangat bergantung pada akuntabilitas mereka dalam menangani kasus-kasus seperti ini. Jika pendekatan tertutup terus berlanjut, bukan tidak mungkin budaya impunitas akan tumbuh subur, di mana pelaku kekerasan dalam institusi justru merasa aman karena yakin tidak akan dihukum. Ini adalah lingkaran setan yang harus segera diputus.

Mengubah Pola Pikir dan Prosedur

Salah satu akar masalah dalam penanganan tawuran remaja adalah pola pikir aparat yang melihat para pelaku tawuran sebagai orang yang membahayakan atau penjahat. Padahal, dalam banyak kasus, mereka hanyalah remaja yang sedang mencari identitas diri dan cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Pendekatan represif, dengan senjata api dan kekerasan fisik, justru memperburuk situasi. Ketakutan terhadap polisi, yang seharusnya menjadi pengayom, menyebabkan remaja lebih nekat mengambil tindakan ekstrem, seperti melompat ke sungai.

Jadi, sudah saatnya kepolisian mengubah pendekatan dalam menangani tawuran. Alih-alih menggunakan kekerasan, polisi harus mulai menerapkan pendekatan yang lebih manusiawi, seperti dialog dan edukasi, serta melibatkan tokoh masyarakat dalam proses mediasi. Polisi perlu mengadopsi metode penanganan konflik yang lebih modern dan sesuai dengan kebutuhan psikologis remaja.

Prosedur pembubaran kerumunan harus diubah agar mengutamakan keselamatan semua pihak. Bukan hanya fokus pada upaya cepat untuk membubarkan massa dengan cara apapun.

Menangani Tawuran dengan Solusi Proaktif

Pencegahan tawuran remaja sebenarnya bisa dilakukan melalui pendekatan yang lebih proaktif. Seperti misalnya edukasi tentang dampak tawuran dan peningkatan aktivitas positif bagi para remaja. Peran sekolah, orang tua, dan komunitas sangat penting dalam upaya ini. Polisi harus bersinergi dengan berbagai pihak, bukan hanya bertindak ketika situasi sudah memanas.

Pendekatan ini bisa dilakukan dengan program-program pencegahan yang melibatkan remaja secara aktif. Seperti pelatihan keterampilan hidup, kegiatan olahraga, atau program sosial yang membantu mereka menyalurkan energi secara positif.

Tidak hanya itu, pihak keamanan perlu melibatkan psikolog, sosiolog, budayawan, agamawan, dan pakar sosial lainnya dalam menyusun strategi pencegahan yang lebih tepat sasaran. Remaja yang terlibat dalam tawuran sering kali mengalami tekanan dari lingkungan, kurangnya pengawasan, dan minimnya dukungan emosional. Dengan pendekatan yang komprehensif, kita bisa mencegah tawuran tanpa harus mengorbankan nyawa.

Kesimpulan: Perlunya Reformasi dalam Penanganan Tawuran

Kasus kematian tujuh remaja di Bekasi harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua bahwa ada yang salah dalam prosedur yang diterapkan selama ini. Polisi harus segera mengevaluasi dan mereformasi metode pembubaran kerumunan, mengadopsi pendekatan yang lebih manusiawi, dan melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam proses pencegahan tawuran. Dengan demikian, kita tidak hanya menyelamatkan nyawa remaja, tetapi juga mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.

Pada akhirnya, pencegahan tawuran bukan hanya soal menindak tegas, tetapi juga tentang memberikan solusi yang lebih bijak dan berpihak pada masa depan generasi muda kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun