"Pendekatan represif mungkin bisa membubarkan kerumunan, namun hanya pendekatan manusiawi yang bisa membentuk generasi yang lebih baik."
Penanganan tawuran remaja sering kali berujung tragis, di mana pendekatan represif yang seharusnya menekan kekerasan justru memakan korban jiwa. Kasus terbaru di Kota Bekasi, Jawa Barat, pada 21 September 2024, menjadi bukti nyata bahwa ada yang salah dalam prosedur pembubaran kerumunan oleh aparat keamanan. Tujuh remaja ditemukan tewas di Kali Bekasi sehari setelah mereka melompat ke sungai karena ketakutan saat dikejar polisi. Ini bukan kali pertama tragedi serupa terjadi, dan sudah saatnya kita mengevaluasi pendekatan yang digunakan untuk mencegah tawuran.
Polisi: Dari Pelindung Menjadi Ancaman?
Dalam banyak kasus, polisi dianggap sebagai pelindung masyarakat. Namun, dalam situasi seperti ini, kita justru menyaksikan fenomena "tongkat membawa rebah," di mana pihak yang seharusnya melindungi malah menyebabkan kematian. Keterangan polisi bahwa para remaja melompat karena takut ditangkap patut dipertanyakan, mengingat ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi tindakan nekat tersebut.
Dari segi investigatif, kasus ini perlu diteliti lebih dalam, terutama terkait dengan protokol yang dijalankan oleh aparat ketika membubarkan kerumunan. Apakah langkah yang diambil benar-benar sesuai standar, atau malah memperparah situasi?
Tragedi di Bekasi ini mirip dengan kasus Afif Maulana, seorang remaja di Padang yang tewas pada Juni lalu setelah melompat dari Jembatan Kuranji. Pada saat itu, polisi juga menyatakan Afif melompat karena takut ditangkap, namun kemudian ditemukan adanya tanda-tanda kekerasan di tubuhnya. Ini mengindikasikan bahwa kekerasan sering kali terjadi, baik saat pembubaran maupun setelah remaja ditangkap. Situasi ini menunjukkan adanya dugaaan kesalahan mendasar dalam penanganan tawuran oleh pihak kepolisian.
Pentingnya Transparansi dan Akuntabilitas
Dalam setiap proses investigasi, transparansi menjadi kunci untuk membangun kepercayaan masyarakat. Sayangnya, dalam kasus kematian tujuh remaja di Bekasi, kepolisian terkesan menutup-nutupi informasi terkait penyebab kematian para korban. Keterbukaan dalam pelaporan perkembangan kasus secara berkala akan sangat membantu, tidak hanya dalam menjaga kredibilitas kepolisian, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam mengawal proses hukum sehingga hasil akhirnya tidak menyimpang.
Transparansi yang minim menimbulkan syak wasangka, seolah-olah hukum tidak ditegakkan secara adil, dan justru digunakan untuk melindungi nama baik institusi.
Kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum sangat bergantung pada akuntabilitas mereka dalam menangani kasus-kasus seperti ini. Jika pendekatan tertutup terus berlanjut, bukan tidak mungkin budaya impunitas akan tumbuh subur, di mana pelaku kekerasan dalam institusi justru merasa aman karena yakin tidak akan dihukum. Ini adalah lingkaran setan yang harus segera diputus.
Mengubah Pola Pikir dan Prosedur