"Kritik itu ibarat cermin: jujur, meski sering tak menyenangkan. Jangan takut bercermin, karena dari sanalah kita belajar untuk menjadi lebih baik."
Suatu hari, di sebuah negeri yang jauh, tinggallah seorang pria tua bijaksana yang sering duduk di bawah pohon besar di alun-alun kota. Ia dikenal karena kata-katanya yang tajam, tapi tak pernah menyakiti hati. Suatu ketika, sekelompok orang yang penasaran mendekatinya, meminta nasihat soal kehidupan di negeri mereka yang makin tak karuan.
Pria tua itu membuka percakapan dengan lembut, "Tahukah kalian? Di zaman ini, bicara benar bisa dianggap ujaran kebencian. Ironi adalah ketika kebenaran malah membuat yang berkuasa merasa tersinggung, padahal kebenaran hanyalah cermin yang tak pernah memihak." Orang-orang mulai mengangguk, seolah memahami bahwa kebenaran kini bagaikan pisau bermata dua — menusuk, tapi menyembuhkan.
Seorang pemuda yang gelisah lantas bertanya, "Tapi, Bukankah kita seharusnya tetap berjuang untuk menyampaikan kebenaran itu?"
Pria tua itu tersenyum, sambil melirik ke arah burung hantu yang terbang di atas. "Ah, ada filosofi lama: 'Burung hantu tetap bijak, meski malam selalu gelap.' Tapi, di negeri ini, siapa yang membawa lampu malah disangka membakar hutan." Pemuda itu tertegun, mencoba memahami bahwa menjadi terang di tengah gelap memang seringkali dianggap mengganggu mereka yang menikmati kegelapan.
Salah seorang dari mereka, yang tampak seperti seorang guru, ikut menyahut, "Tapi kenapa para pemimpin kita selalu seolah berbicara besar, namun hasilnya kosong?"
Pria tua itu mengangguk, seolah sudah tahu pertanyaan itu akan muncul. "Begini, nak, kebijakan terkadang seperti angin: kencang di luar, tapi kosong di dalam. Saat rakyat bertanya 'kenapa?', jawabannya adalah 'jangan tanya saya'." Semua yang mendengar tertawa kecil, menyadari betapa sering mereka mengalami hal serupa. Rakyat bertanya, tapi yang mereka terima hanyalah keheningan atau jawaban yang sama sekali tak memuaskan.
Tiba-tiba seorang wanita di kerumunan berbisik pelan, "Mengapa mereka selalu marah kalau kita mengkritik?"
Pria tua itu menghela napas panjang sebelum berkata, "Nak, ketika kritik dianggap serangan, maka yang memerintah bukan lagi demi rakyat, tapi demi egonya sendiri." Tawa kecil berubah menjadi senyum pahit. Mereka semua tahu bahwa ego pemimpin mereka sering kali lebih besar daripada kepentingan rakyat.
Suasana semakin hening. Seorang anak muda yang bersemangat bertanya lagi, "Kalau begitu, apakah kita harus berhenti mengkritik?"
Pria tua itu tertawa kecil, "Ah, jika setiap kritik dianggap ujaran kebencian, apakah kita harus membungkam nurani? Atau mungkin, kebencian sesungguhnya adalah takut melihat diri di cermin?" Kali ini semua tertawa keras, menyadari bahwa ketakutan terbesar mereka yang berkuasa bukanlah kritik, tapi kenyataan yang tercermin dari kritik itu sendiri.