Salah seorang pria lain, yang tampak resah, bertanya, "Mengapa kita takut pada kritik, padahal kritik itu untuk perbaikan?"
Pria tua itu memandangnya dengan lembut, "Itulah yang membingungkan, mengapa kita lebih takut pada suara rakyat yang lantang daripada pada kesalahan yang harusnya diperbaiki?" Kerumunan mulai berpikir lebih dalam, bahwa mungkin masalah sebenarnya bukanlah kritik, tapi ketidakmampuan untuk menerima kesalahan.
Di tengah tawa dan canda, seorang pria paruh baya berkata, "Bukankah kritik itu hal yang wajar? Seperti cermin?"
Pria tua itu mengangguk penuh arti, "Benar sekali, kritik itu ibarat cermin. Bila yang bercermin merasa wajahnya tak elok, apakah cerminnya yang salah? Atau mungkin, cermin itu memang harus dipecahkan agar tak perlu lagi melihat kenyataan?" Semua tertawa lebih keras kali ini, membayangkan cermin yang dipersalahkan hanya karena menampilkan kebenaran.
Seorang anak muda yang tampak idealis berkata, "Tapi sekarang, kritik dianggap mengancam. Kenapa bisa begitu?"
Pria tua itu menghela napas dalam. "Karena, zaman ini, kritik dianggap mengancam. Padahal, kritik hanyalah suara hati rakyat yang ingin perbaikan, bukan permusuhan. Yang membuat gaduh adalah mereka yang tak mau bercermin." Lagi-lagi, tawa terdengar dari kerumunan. Mereka mulai memahami bahwa sering kali, kegaduhan bukan datang dari yang mengkritik, tapi dari yang tak ingin dikritik.
Kemudian, salah seorang di kerumunan berbisik dengan suara cemas, "Tapi kalau semua kritik disensor, apa yang tersisa?"
Pria tua itu tersenyum tipis. "Ah, jika setiap kata kritik harus disensor, apakah kita akan hidup di negeri yang hanya mendengarkan pujian? Mungkin sebentar lagi kita perlu kamus baru, di mana ‘kebenaran’ dan ‘kebencian’ punya makna yang sama." Semua tertawa lagi, kali ini dengan sedikit nada getir. Mereka sadar, di negeri mereka, hal seperti itu bukan lagi lelucon, tapi kenyataan.
Dan akhirnya, salah satu pemuda bertanya, "Apakah ini akhir dari demokrasi kita?"
Pria tua itu memandang mereka semua dengan tatapan dalam, sebelum berkata, "Nak, ada satu pertanyaan: ketika kritik dianggap kejahatan, apakah yang tersisa dari demokrasi selain panggung sandiwara? Mungkin ini pertanda, demokrasi sedang menuju akhir babak."
Tawa keras bercampur dengan pemikiran serius memenuhi alun-alun. Mereka pergi dari sana dengan senyum di wajah, tapi dengan pikiran yang lebih terbuka. Kritik, ternyata, bukanlah ujian kebencian. Melainkan, sebuah panggilan untuk bercermin.