"Guru yang bijak tidak hanya mengajar dengan ilmu, tapi juga dengan hati. Karena pendidikan sejati adalah membangun karakter, bukan hanya sekadar pengetahuan."
Insiden kekerasan oleh seorang guru di sebuah sekolah menengah atas yang kini viral di berbagai platform media sosial memunculkan pertanyaan mendasar mengenai kualitas pembinaan tenaga pendidik serta manajemen krisis di lingkungan sekolah. Sebagai seorang praktisi Human Capital dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pendidikan, saya melihat kasus ini bukan hanya sebagai peristiwa terisolasi, melainkan gejala dari masalah yang lebih luas, mencakup manajemen SDM, pedagogi, dan tata kelola lingkungan belajar yang aman.
Kasus ini menggarisbawahi pentingnya memperbaiki sistem pendidikan kita, terutama dalam hal pembinaan emosional dan psikologis bagi tenaga pendidik. Di bawah ini adalah beberapa poin utama yang perlu kita cermati dalam upaya menanggapi dan mencegah insiden serupa di masa mendatang.
1. Krisis dalam Pembinaan Guru dan Lingkungan Pendidikan
Kekerasan fisik oleh guru, seperti yang terlihat dalam video viral tersebut, merupakan manifestasi dari kegagalan sistem dalam membina tenaga pendidik, terutama dalam aspek pengelolaan emosi. Pada era pendidikan modern, peran guru tidak lagi terbatas pada transfer pengetahuan akademik. Guru harus mampu membimbing siswa dengan pendekatan yang positif dan emosional yang stabil. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih sering mengabaikan pelatihan emotional intelligence (EI) bagi guru.
Pelatihan intensif terkait pengelolaan emosi dan konflik sangat diperlukan. Hal ini dapat mencegah tindakan kekerasan dan menjadikan guru lebih kompeten dalam menangani situasi sulit di kelas. Pembinaan yang komprehensif ini akan memperkuat peran guru sebagai pendidik yang sabar dan bijaksana, sesuai dengan misi pendidikan nasional.
2. Lemahnya Manajemen Krisis dan Pengawasan Kepala Sekolah
Fakta bahwa kepala sekolah baru mengetahui kejadian kekerasan ini melalui video yang viral mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan pelaporan di sekolah tersebut. Dalam dunia pendidikan yang ideal, setiap penyimpangan perilaku guru harus segera terdeteksi dan ditangani sebelum sampai ke ranah publik.
Sekolah memerlukan protokol krisis yang lebih ketat dan sistem pengawasan berbasis teknologi yang dapat memonitor interaksi antara guru dan siswa secara real-time. Dengan adanya deteksi dini dan respon cepat dari manajemen sekolah, insiden seperti ini dapat dicegah dari awal, sehingga menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman bagi siswa.
3. Implementasi Kebijakan Pencegahan Kekerasan di Sekolah
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 46 Tahun 2023 telah memberikan kerangka kebijakan yang jelas untuk mencegah kekerasan di sekolah. Namun, implementasi kebijakan ini masih sering lemah di lapangan. Penerapan Sistem Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) harus lebih proaktif, tidak hanya fokus pada sanksi setelah kekerasan terjadi, tetapi juga pada edukasi preventif bagi guru dan siswa.
Setiap sekolah perlu mengadakan sosialisasi rutin terkait budaya anti-kekerasan. Guru, siswa, dan orang tua harus dilibatkan secara langsung dalam upaya ini agar tercipta kesadaran kolektif bahwa sekolah adalah tempat yang aman dan kondusif untuk belajar, bukan ruang untuk ketakutan.
4. Perspektif Human Capital dalam Pendidikan
Dari kacamata Human Capital, guru merupakan aset yang harus diberdayakan secara holistik. Pelatihan dan pengembangan guru tidak boleh hanya terfokus pada aspek akademik, tetapi juga pada pengembangan keterampilan lunak (soft skills), seperti kemampuan komunikasi, manajemen konflik, dan pengendalian emosi. Dengan pelatihan yang tepat, guru akan mampu menciptakan suasana belajar yang mendukung perkembangan siswa tanpa perlu menggunakan pendekatan kekerasan.
Hal ini menekankan bahwa pendekatan Human Capital dalam pendidikan tidak hanya soal manajemen kelas, tetapi juga tentang membangun tenaga pendidik yang berdaya, mampu beradaptasi dengan perubahan, dan menjadi teladan bagi siswa.
5. Dampak Psikologis terhadap Siswa
Kekerasan di lingkungan sekolah, baik fisik maupun verbal, meninggalkan dampak jangka panjang bagi siswa. Trauma yang dialami siswa tidak hanya mengganggu proses belajar, tetapi juga mempengaruhi kesehatan mental mereka. Lingkungan belajar yang seharusnya memotivasi, malah berubah menjadi tempat yang menimbulkan ketakutan dan ketidaknyamanan.
Oleh karena itu, diperlukan intervensi psikologis yang tepat terhadap siswa yang menjadi korban. Program konseling dan dukungan psikologis harus segera dilakukan untuk mengatasi trauma yang mungkin dialami. Ini juga menjadi momen bagi sekolah untuk mengkaji ulang sistem pendampingan psikologis yang tersedia bagi seluruh siswa.
6. Rekomendasi Jangka Panjang
Agar kejadian serupa tidak terulang, ada beberapa langkah strategis yang bisa diambil oleh institusi pendidikan:
* Pelatihan Ulang Guru. Program pelatihan yang berfokus pada manajemen kelas, keterampilan komunikasi, dan pengendalian emosi harus menjadi prioritas utama. Ini akan memperkuat kapasitas guru dalam menghadapi dinamika kelas tanpa harus melibatkan kekerasan.
* Pengawasan yang Lebih Baik. Teknologi harus dimanfaatkan secara optimal, misalnya dengan penerapan CCTV dan sistem pelaporan yang responsif. Ini akan memungkinkan kepala sekolah dan manajemen untuk segera mendeteksi dan menangani insiden kekerasan sebelum situasi memburuk.
* Membangun Budaya Sekolah yang Humanis. Sekolah harus menjadi tempat yang mengutamakan nilai-nilai keadilan, empati, dan rasa hormat dalam interaksi antara guru dan siswa. Pendekatan humanis dalam pendidikan akan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi semua pihak.
Kesimpulan
Insiden kekerasan di SMAN yang tengah viral ini adalah peringatan serius bahwa pendidikan bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan karakter. Keberhasilan sekolah dalam mendidik generasi penerus sangat bergantung pada kualitas tenaga pendidik. Manajemen sekolah perlu mengambil langkah strategis untuk memastikan bahwa tenaga pendidik dibina secara holistik dan terus menerus, sehingga mereka mampu menghadapi tantangan ruang kelas tanpa menggunakan kekerasan.
Langkah konkret seperti peningkatan pengawasan, pelatihan ulang guru, serta pembentukan budaya sekolah yang humanis harus segera diimplementasikan. Hanya dengan cara ini kita dapat memastikan bahwa kekerasan di sekolah menjadi sesuatu yang jarang terjadi dan pendidikan kembali menjadi sarana pembangunan karakter yang positif bagi siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H