"Pemimpin besar lahir dari sistem yang berani memperjuangkan kualitas, bukan sekadar kompromi kepentingan. Masa depan bangsa ada di tangan kita untuk memperbaikinya."
Dalam setiap momen pergantian kepemimpinan, harapan akan munculnya sosok pemimpin visioner selalu menjadi sorotan. Namun, akhir-akhir ini, sinyal-sinyal merah mulai terlihat dalam dinamika politik di Indonesia.Â
Fenomena calon tunggal dalam pilkada yang terus meningkat, kekakuan dalam proses kaderisasi partai politik, hingga sulitnya muncul pemimpin berkualitas, menimbulkan pertanyaan: Apakah ini akibat dari kegagalan kaderisasi atau memang sistem politik kita yang tidak kondusif?
Kaderisasi Partai: Pilar Demokrasi yang Terabaikan?
Sejak reformasi, partai politik di Indonesia diharapkan menjadi wadah utama dalam mencetak pemimpin berkualitas. Namun, faktanya, harapan ini sering tidak sejalan dengan realitas.Â
Banyak partai politik gagal menjalankan fungsinya sebagai institusi kaderisasi yang efektif. Mereka lebih sering terjebak dalam pragmatisme politik, lebih mengutamakan kepentingan elit ketimbang mendorong munculnya pemimpin yang benar-benar memiliki integritas dan kompetensi.
Pilkada serentak 2024 menjadi bukti nyata betapa krisis kaderisasi semakin parah. 43 daerah terancam hanya memiliki satu calon — calon tunggal yang dihadapkan pada kotak kosong.Â
Ini bukan hanya soal kurangnya jumlah calon, melainkan tanda kegagalan partai politik dalam menyiapkan kader yang mampu bersaing secara demokratis. Jika partai-partai politik memiliki sistem kaderisasi yang baik, situasi ini tentu bisa dihindari.
Apakah Sistem Politik Mendukung?
Selain masalah kaderisasi, kita tidak bisa menutup mata terhadap kondisi sistem politik yang juga berperan besar dalam situasi ini. Sistem politik di Indonesia seringkali lebih mengedepankan kompromi elit daripada meritokrasi.Â