Kesuksesan sejati bukan diukur dari tingginya pencapaian, tetapi dari kerendahan hati dan adab kita dalam menghargai dan menghormati sesama."
"Di sebuah kampung yang jauh dari gemerlap kota, hiduplah seorang ayah tua yang telah memasuki masa pensiun. Istrinya, seorang ibu rumah tangga yang sederhana, menemani hari-harinya dengan setia. Mereka tinggal di sebuah rumah kayu sederhana yang dibangun dengan penuh cinta dan ketulusan. Ayah tua itu adalah seorang pria yang tenang, penuh hikmah, dan dikenal oleh para tetangga sebagai seseorang yang selalu berbicara tentang pentingnya adab, sikap, dan karakter.Â
Namun kini, ia lebih banyak diam. Kehidupannya yang dulu penuh dengan nasihat dan petuah kepada orang lain, kini dihadapkan pada ujian yang berat: anak laki-lakinya sendiri.
Anaknya, seorang pemuda dengan kecerdasan luar biasa, baru saja menyelesaikan pendidikannya di sebuah universitas ternama. Dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) yang tinggi dan penguasaan bahasa asing yang cukup bagus, ia merasa yakin bahwa dunia ada di genggamannya. Obsesi dan ambisinya untuk meraih kesuksesan begitu menggebu. Namun sayang, di tengah kegemilangannya, ada sesuatu yang hilang dalam hatinya: rasa hormat dan adab kepada orang tuanya.
Setiap kali ada di rumah, pemuda itu jarang berbicara dengan ayahnya. Jika ada percakapan, ia sering kali menjawab dengan nada yang tajam atau bahkan meremehkan. Ayahnya, dengan penuh kesabaran, hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu bahwa dunia modern telah banyak mengubah cara berpikir anak-anak muda, termasuk anaknya sendiri.
Namun, ia tetap berharap bahwa pada suatu hari nanti, anaknya akan memahami bahwa dalam hidup ini, lebih penting memiliki hati yang lembut dan sikap yang santun daripada hanya sekadar mengumpulkan gelar dan pencapaian duniawi.
Suatu pagi yang dingin, di saat embun masih membasahi daun-daun pepohonan, ayah tua itu dengan sabar mengantar anaknya dengan sepeda tua ke halte bus di tengah kota. Mereka berjalan berdua, diiringi sunyi pagi yang hanya dipecahkan oleh suara ayuhan sepeda mereka di atas kerikil. Anak laki-laki itu akan pergi ke kota besar untuk sebuah wawancara kerja, sebuah kesempatan besar yang diimpikannya selama ini. Ayahnya hanya menatapnya dari belakang, melihat punggung tegap anaknya yang penuh ambisi. Dalam hati, ia berdoa, "Ya Allah, lembutkanlah hati anakku. Berilah ia pemahaman bahwa hidup ini bukan hanya tentang angka-angka dan pencapaian, tetapi juga tentang kebaikan hati dan adab kepada sesama."
Sepanjang perjalanan, tak ada banyak percakapan yang terucap. Sesekali sang ayah mencoba mengajak bicara, namun jawabannya selalu singkat. Pemuda itu lebih sibuk dengan pikirannya sendiri, membayangkan masa depan cerah yang akan diraihnya. Di benaknya, ia merasa sudah cukup dewasa untuk mengatur hidupnya sendiri tanpa harus mendengarkan nasihat seorang ayah yang dianggapnya ketinggalan zaman.
Ketika tiba di halte, sang ayah menepuk bahu anaknya pelan. "Nak," ucapnya lembut, "Ayah hanya ingin kau tahu, di dunia kerja nyata nanti, yang paling penting bukanlah IPK atau seberapa banyak bahasa asing yang kau kuasai. Yang terpenting adalah sikap, akhlak, dan adabmu kepada sesama. Jangan lupa itu, ya."
Tanpa senyum, pemuda itu hanya mengangguk singkat, lalu naik ke bus tanpa banyak bicara. Ayahnya menatap kepergiannya dengan mata yang berkaca-kaca, hatinya remuk redam melihat sikap keras anaknya. Namun, ia tetap berdiri tegak, melambaikan tangan dengan senyum yang dipaksakan. "Semoga Allah melindungimu, Nak," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Hari-hari berlalu, dan pemuda itu kini berada di tengah kota besar, sibuk dengan berbagai urusan dan ambisinya. Sementara di kampung, ayahnya terus menjalani hari-harinya dengan doa dan harapan. Setiap sujudnya, ia tak pernah lupa memohon kepada Allah agar membuka pintu hati anaknya yang keras.
Suatu hari, pemuda itu mendapat pelajaran berharga. Dalam sebuah wawancara kerja di sebuah perusahaan besar, meskipun ia memiliki semua kualifikasi yang diperlukan - IPK tinggi, pengalaman magang, dan kemampuan bahasa asing - ia justru ditolak karena sikapnya yang kaku, tegang, tidak luwes, dan tidak empatik. Kepekaan dan kerendahan hati yang tidak dimilikinya yang menyebabkan pewawancara menolaknya. Dengan penuh kekecewaan, ia meninggalkan ruangan itu, merasa dunia seakan runtuh di hadapannya.
Dalam perjalanan pulang, kata-kata ayahnya terngiang kembali di telinganya, "Yang terpenting adalah sikap, akhlak, dan adabmu kepada sesama." Perlahan, ia mulai menyadari bahwa ambisi dan obsesi yang berlebihan telah membuatnya buta. Ia lupa bahwa kesuksesan sejati bukan hanya tentang pencapaian materi, tetapi tentang bagaimana ia menghargai dan menghormati orang lain, terutama kepada ayahnya yang telah begitu banyak berkorban untuknya.
Dengan hati yang penuh penyesalan, ia kembali ke kampung halamannya. Ia menemui ayahnya yang sedang duduk di beranda rumah, memandang jauh ke ladang yang luas. "Ayah," panggilnya pelan. Ayahnya menoleh, mata tuanya menatap lembut penuh kasih.
"Ayah, maafkan aku," ucap pemuda itu dengan suara bergetar. "Aku baru menyadari betapa aku selama ini telah salah. Betapa aku telah mengabaikan nasihatmu dan bersikap keras kepala."
Ayahnya tersenyum, penuh kebijaksanaan. Ia menepuk bahu anaknya dengan lembut, "Tidak mengapa, Nak. Yang penting sekarang kau sudah menyadarinya. Selalu ingat, kesuksesan bukan hanya tentang seberapa tinggi kau bisa mendaki, tetapi juga tentang seberapa rendah hatimu dalam bersikap."
Dan di bawah langit senja yang mulai meredup, sang anak memeluk ayahnya dengan air mata yang mengalir. Di hatinya, ia berjanji untuk selalu menghargai, menghormati, dan mencintai ayahnya - seorang pria tua yang telah mengajarkannya tentang nilai-nilai kehidupan yang sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H