"Ketika pemimpin lebih memilih mabuk di atas kemewahan, kita dipanggil untuk sadar dan berjuang. Jadilah suara yang merdeka, bukan bisikan di antara janji palsu dan fatamorgana."
Di suatu negeri yang gemah ripah loh jinawi, ada seorang pejabat yang sedang lucu-lucunya. Dia memakai baju kuning keemasan nampak sangat sibuk ulang-alik, dari kantor pejabat ke kantor golongan rakyat. Meski terkesan tengil, tapi di mata raja peran dia tidaklah kecil.
Suatu hari, beliau terlihat asyik menenggak wiski mahal. Katanya, itu bukan sembarang wiski, tapi seharga lebih dari tujuh kali Upah Minimum Regional (UMR). Menurut kabar burung, beliau sedang mencari inspirasi sebagai menteri. "Inspirasi apa?", pikir rakyat kecil. Usut punya usut, sayangnya, ternyata inspirasi itu lebih sering berakhir di dasar gelas daripada di kepala. Terhenti di wacana, daripada mewujud di aksi nyata.
Kata sekretarisnya sih, bapak tadi sedang pusing. Karena, ada banyaj urusan raja juga menjadi beban di pundak dan lidahnya. Tak heran, kadang ekspresinya bikin gemas para komika di jagat maya.
Ya, negeri ini memang unik. Saat rakyatnya berjuang mencari sesuap nasi, para petinggi justru sibuk mencari merek wiski terbaik. Mungkin karena terlalu kenyang, mereka lupa pada kenyataan. Tapi, apa mau dikata? Seperti wiski yang lama tersimpan dalam tong kayu ek, janji-janji politik pun semakin tua semakin memabukkan. Bedanya, yang mabuk janji bukanlah yang meneguknya, melainkan kita - rakyat jelata yang setia menunggu janji ditepati.
Seorang sahabat saya pernah bilang, "Kalau menteri kita terlihat mabuk, itu bukan karena kurang minum air, tapi mungkin karena terlalu banyak minum 'janji-janji'. Akhirnya, ia lebih mengedepankan janji yang menghasilkan emas daripada yang harus menjadi prioritas".
Saya hanya bisa mengangguk setuju, sambil sedikit tersenyum pahit. Apa mungkin wiski mahal adalah sumber kebijakan luar biasa negeri ini? Jika ya, mungkin kita harus berinvestasi lebih banyak dalam 'minuman keras' agar kebijakan kita bisa lebih tajam dan bertenaga.
Namun, muncul pertanyaan yang lebih menggelitik: Jika harga wiski lebih dari tujuh kali UMR, seberapa banyak UMR yang dibutuhkan untuk 'menyadarkan' seorang menteri? Setiap kali seorang menteri meneguk wiski mahal, satu malaikat kehilangan sayapnya. Atau setidaknya, rakyat kehilangan sedikit lebih banyak harapan. Betapa ironisnya, di era digital ini, menteri mabuk pun jadi konten. Tapi sayangnya, konten ini bukan untuk inspirasi, tapi lebih kepada 'cerminan realitas' yang menyedihkan.
Dalam satu kesempatan, seorang wartawan bertanya kepada menteri , "Mengapa Anda memilih minum wiski mahal?". Sang menteri menjawab dengan tenang, "Untuk mengenang janji-janji yang sudah habis kadaluarsa." Sebuah jawaban yang mungkin diharapkan bisa memancing tawa, tetapi justru wartawan itu bertambah pilu. Juga kehilangan selera untuk bertanya padanya. Bagaimana tidak? Kalau harga wiski bisa lebih dari tujuh kali UMR, mungkin menteri kita sedang latihan matematika anggaran: bagaimana membagi angka besar dalam gelas kecil.
Begitulah, cerita ini hanyalah sebuah refleksi kecil dari fenomena besar yang kita hadapi. Dengan segala kerendahan hati, semoga cerita kecil ini bisa memberikan hiburan yang besar bagi pembaca. Sebab, seringkali sahabat-sahabat saya mengajak untuk berpikir kritis tentang fenomena sosial dan politik yang sedang terjadi. Namun, yang didapat justru segala rasa yang miris abis.